Mereka Tak Tahu, Kawan

November 15, 2015

Saat sebagian besar berkata “cukup! Semua sudah usai”

Katakan “maaf, ini baru dimulai, kawan”

Mereka mencemoohmu seoalah kau jadi orang paling bodoh

Tapi apakah mereka tahu apa yang engkau rasa?

Tidak, kawan. Tidak

Mereka tak tahu apa-apa

Mereka hanya ingin mencoba mengendalikanmu

Orang yang selama ini tak pernah bisa mereka kendalikan

Dengarkan hatimu

Tuntunlah dengan logika

Jika hati dibiarkan meraja ia membutakan semua

Andai logika terus berkuasa ia melumpuhkan segala

Percayalah, sobat

Tak ada yang sia-sia

Kesabaran pasti berbuah manis

Tak ada waktu terbuang untuk menanti

Teruskan, teman

Meski kau merasa sendiri dalam gelap

Itu lebih baik

Dibanding kau selalu merasa sepi di bawah cahaya



Galau Itu, Asyik

October 28, 2015

Galau itu ternyata asyik juga. Sudah hampir dua tahun ini aku tak pernah galau. Tetapi sekalinya galau, eh hal besar yang kuimpikan dua tahun terakhir ini terancam pupus.

Jika menuruti emosi, mungkin sudah pupus. Tapi itu bukan itu yang kuinginkan. Aku ingin mewujudkannya. Bersama dia yang kuinginkan dan kubutuhkan.

Namun, kalaupun pupus, aku pun harus siap. Karena hati tak bisa dipaksa. Hubungan tak bisa dilandasi dengan keterpaksaan.

Untung saja, ada wanita yang melahirkanku ke bumi selalu menasihati. “Nak, perjuangakan dia sampai kamu mentok. Kalau tidak berhasil, sakitnya tidak akan seperti jika seandainya kau tak melakukan apapun. Namun yang pasti, kamu harus siap dengan kemungkinan terburuk. Ibu mendukung segala yang kau lakukan untuk mendapatkannya kembali,”

Wah asyik juga nasihat ibu.

Tapi hal terpenting buatku ternyata bukan itu. Aku jadi ingat Tuhan. Kemarin-kemarin aku lupa Tuhan itu siapa dan dimana. Walaupun malu, aku datang juga ke hadapan-Nya melalui salatku.

Aku nggak munafik juga. Tentu aku minta pada-Nya agar menuliskan namanya sebagai jodohku. Tapi di bagian akhir, dengan berat, hatiku spontan menambahkan agar ikhlas jika keinginan tak sesuai kenyataan.

Tuhanku ternyata tak pernah lupa pada pendosa ini. Dan semoga saja, aku tak ngawur dan mengulangi kesalahan yang sama. Kemarin aku adalah keledai dungu yang selalu jatuh di lubang yang sama.

Tapi selarang aku takut. Dikira orang yang gak gaul juga gapapa deh. Dibanding harus mengulang kesalahan sama mulu. Yang namanya dosa itu enak boss. Sebelum lu sakit, lu gak akan sadar. Setelah sakit pun banyak yang kemudian lupa.

Tapi kalau mengingat pedih perihnya buah dari dosa dan kesalahan, bikin takut bener-bener. Atau sekarang gini aja deh, gak usah takut dosa karena itu gak keliatan. Gimana kalau lu pada, khawatir bakal ngalamin sakit sebagai dampak dari kesalahan itu.

Lu pasti kan belum ada yang ngeliat dosa kan? Tapi setiap orang pasti pernah merasakan sakit. Entah itu sakit hati, sakit perut, sakit gigi or the others. Yang jelas, hindarilah berbuat salah. Jaga diri baik-baik.

Hidup itu menanam. Kalau kita nanamnya baik, pasti dapat yang baik juga meskipun belum tentu kebaikan yang kita tanam itu yang bakal dituai. Orang nanem mangga, kan belum tentu juga ikut panen semua buahnya karena bisa jadi tuh mangga dicolong tetangga. Tapi lumayan lah, tetep masih bisa makan mangga.

Nah itu nanemnya yang baik. Gimana kalau menanam kejelekan? Itu investasi buruk juga. Dan Alhamdulillah, sekarang Tuhan dah ngingetin dengan sakit hati.

Segalanya sesuatu pada dasarnya menyimpan kebaikan. Bahkan pada hal yang kita anggap buruk. Hanya saja, sebagian besar dari kita termasuk saya, memandang dari satu sisi saja. Yang jelas pada males untuk nyari berbagai sisi dan berusaha menemukan kebaikkannya. Tahunya kalau buruk ya buruk aja.

Temukan kebaikannya dari hal yang kita anggap buruk.

Gak usah pengen dendam dendaman. Karena dendam gak ada habisnya. Biar yang ngebalas Tuhan aja. Ingatan dan perhitungan Tuhan pasti lebih bagus dari kita punya. Doakan orang yang telah menyakiti kita karena dia itu adalah utusan untuk bikin kita makin inget ma Boss di atas sana. Doa tentunya yang baik-baik. Karena mendoakan kebaikan bagi orang lain adalah investasi besar.

Jangan doain jelek ke orang lain. Kalaupun dah kelepasan, ya buru-buru sadar. Syukur-syukur mau istighfar. Mendoakan jelek orang, gak ada gunanya. Lu juga gak mau kan didoain jelek?

Maafkan semua yang dah terjadi tapi jangan dilupakan sehingga kita punya pengalaman yang katanya adalah guru terbaik. Untuk jadi pengalaman ke depan. Orang naik motor aja ngeliat ke spion bentar bentar doang. Kalau dia ngeliat ke spion terus, jadinya nabrak. Kan motornya berjalan maju.

Mumpung lagi sadar dan semoga semakin bertambah sadar, mari berdoa. Ya Allah, jangan kelompokkin aku ke keledai dungu dong. Cukup kemarin aja. Dan sekarang, tolong permudahlah jalan hamba untuk mengubah dosa jadi ibadah. Yang terakhir itu doa pribadi.

Memang terkesan mau enaknya aja. Tapi kan yang baca gak ngerasain gimana sakitnya sebelum ini ditulis. Ditambah lagi, Tuhan itu bisa ngelakuin apapun. Yang pasti juga, Dia nggak pelit and bakal ngasih yang kamu butuhkan. Inget, yang kamu butuhkan dan yang diinginkan beda lho. Tapi kalau boleh nawar, berhubung Tuhan ga pelit, sekalian dong. Yang dibutuhkan dan diinginkan.

Kalau seandainya besok yang dicoba tuh gagal, anggep aja Tuhan lagi pengen aku tambah sabar. Seberapa lama bisa menunggu hal baik tanpa meninggalkanNya atau menghujatNya. Intinya syukuri aja setiap kejadian dan yang kita punya.

Nyari dan ngedapetin yang lebih baik itu harus tapi juga harus dengan pertimbangan matang. Hidup itu kayak bermain-main. Dapet mainan baru, bakal melupakan yang lama. Tapi itu biasanya sejenak asalkan barang lama kita dah teruji kompetitif dan high quality.

Hidup itu adalah meninggalkan kenangan bukan sekadar mencari kemenangan. Jadi kesimpulannya, ciptakanlah kenangan sebanyak mungkin agar namamu tak pernah lekang. Tentunya kenangan yang baik. Yang penting usaha dan sekarang ditambahin berdoa. Kalau dua itu dijalanin, gak akan ada hal yang sia-sia. Apalagi ditambah restu dan doa orangtua. Pasti maknyooosss… Wassalam.


Berdamai dengan Dosa

October 28, 2015

Aku bersyukur atas segala nikmat dan sakit yang engkau berikan ya Robb

Tanpa sakit ini, betapa sombongnya aku

Betapa aku mengecilkan peranMu dalam hidupku

Dan betapa aku seolah tak butuh Engkau

Ya Allah, kini aku datang padaMu dengan segenap malu

Kadang hatiku bertanya

“Masih pantaskah aku meminta saat diriku bergelimang dosa?”

Engkau Maha Pengasih Peyayang dan Pengampun serta maha 96 lainnya

Tapi, kumohon padamu, beri aku kekuatan

Agar aku tak pernah lagi bertameng pada Maha PengampunMu

Memang aku pasti akan berbuat salah

Tapi jangan biarkan aku berbuat kesalahan yang sama

Lindungilah dan Ridhailah jalan pendosa ini

Murnikan hati ini agar menerima segala takdirMu


Ya Allah, hanya kepadaMu aku berterimakasih

Melalui sakit ini, Kau memanggil

Hanya untuk menyelamatkanku, Ya Ilahi

Terimakasihku atas semua limpahan kasihMu

Jadikanlah aku Nirmalasoka

Bebas dari kesedihan dan merana saat Kau tentukan nasibku

Tidak ada yang tidak mungkin buatMu

Lindungilah Ya Allah

Berikan aku jalan untuk mengubah dosa jadi ibadah

Engkau Maha Mengetahui

Seluruh nasib dan masa depanku, kuserahkan ikhlas padaMu

Tak Sia-sia

October 28, 2015

Terus melangkah

Meski kau lalui permadani berbulu belati

Jangan berhenti

Walau darah memancar dari telapak kaki

Nikmati semua

Jadikan cucuran air matamu sebagai teman sejalan

Pasrahlah

Ini cara Tuhanmu mengingatkan bahwa kau manusia biasa

Engkau tak bisa sendiri, teman

Ada ibu, kekasih hati, keluarga, teman, lawan, dan Tuhan yang Maha Besar

Inilah cara-Nya mengembalikanmu agar kembali mengingatNya

Syukurilah, tak ada hal yang sia-sia

Menyerahlah

Arus lautan kehidupanmu sedang bergejolak

Jika kau memaksakan niscaya akan kehabisan tenaga

Pulau di seberang masih jauh

Perjalanan masih panjang

Bersabarlah meskipun sakit sangat menyiksa

Engkau pasti mampu, sobat

Jangan merendahkan dirimu di depan masalah

Hadapi dengan gagah berani seperti kau belakang hari

Luka di kaki pasti terobati

Air mata pasti berhenti

Di depan, bisa saja ada jurang namun mungkin sekali ada jalan penuh kembang

Perjuangkan sampai kau tak bisa berjuang lagi

Jalani hingga sakit itu terasa nikmat

Ucapkan salam perpisahan dengan tenang

Namun jika tak ada salam perpisahan, kembalilah ke jalan Tuhan bersama

Lakukan yang terbaik didalamNya bersamanya

Carilah ridha-Nya bukan kenikmatan yang sesaat berlalu

Lakukan yang terbaik tanpa berharap

Semua bukan milikmu

Hidup masih panjang, namun

Kau tak pernah tahu kapan Tuhan mencabut nyawamu

Cintaku dan Cinta-Mu

February 26, 2014

Setelah mati dan bertemu Tuhan, seorang bijak berdialog dengan penciptanya.

Tuhan: Hari ini akan Aku berikan sedikit dari kekuasaanKu kepadamu.

Aku: Apa maksud Anda duhai Rajaku?

Tuhan: Akan Ku-anugerahkan kepadamu kekuatan dimana engkau bisa menentukan kapan kematian datang menjemput orang tua dan anak-anakmu. Dengan begitu, engkau bisa segera berkumpul dengan mereka di sini.

Aku: Benarkah yang anda ucapkan Rajaku tercinta?

Tuhan: Aku tak pernah ingkar pada ada yang Kuucapkan.

Aku: Maaf beribu maaf paduka yang mulia, hamba tidak bisa menerima anugerah tersebut.

Tuhan: Kenapa? Bukankah dengan apa yang akan Kuberikan padamu, engkau bisa menentukan kapan waktu berkumpul dengan orang-orang yang amat sangat engkau kasihi? ataukah kau menginginkan lebih dari itu?

Aku: Hamba sangat berterimakasih kalau Tuan ingin memberikan anugerah kepada saya, tapi rasanya hal itu tidak pantas untuk saya.

Tuhan: Baiklah kalau begitu. Aku akan memberikan padamu anugerah dimana engkau bisa menentukan kapan datangnya hari kiamat.

Aku: Hamba semakin tidak berani menerimanya.

Tuhan: Kau sudah berada disisiKu. Aku berikan anugerah yang sedemikian besar untuk ukuran manusia tapi kau menolaknya. Kau bisa menentukan kapan saja ingin berkumpul dengan semua orang yang kau kasihi dan sayangi di dunia, tapi kau menolaknya. Bukankah itu merupakan hal aneh bagi manusia yang tak pernah merasa puas dan selalu mengatakan “inilah hal yang terbaik untukku”.

Aku: Memang dengan anugerah yang hendak Engkau berikan, hamba bisa kapan saja berkumpul dengan orang-orang yang hamba kasihi. Namun cinta hamba tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan cintaMu kepada mereka!!!

Suamiku Terinveksi HIV (based on true story)

February 20, 2014

Perkenalan kami terjadi pada 2009 lalu. Saat itu, selepas maghrib, ia datang ke rumah bersama pamannya. Kebetulan sang paman ada kepentingan dengan orangtuaku.

Bagi orang dusun yang tinggal di pelosok Jawa Tengah, sebagai anak perempuan, kemudian aku membuatkan minuman kepada tamu orangtuaku. Saat itulah kali pertama aku melihat dia.

Karena pembicaraan antara pamannya dan orangtuaku sepertinyapenting, ia menunggu di luar rumah. Sebagai tuan rumah, aku lantas menemaninya. Tidak ada perasaan apapun ketika. itu. Kami berkenalan seperti biasa dan bertukar nomor telepon. Beberapa waktu kemudian, dia dan pamannya pamit.

Beberapa hari kemudian, ia mengirim SMS. Biasa saja, hanyabertanya kabar. Aku membalas SMS tersebut juga dengan pertanyaan bagaimana kabarnya. Dan sejak hari itu, kami intens berkomunikasi.

Bukan hanya SMS dan telepon, beberapa kali kami bertemu. Entah menjemputku pulang kerja dari pabrik atau mengajak bertemu di suatu tempat yang sudah kami sepakati bersama.

Aku lupa kapan pastinya. Tapi cinta mulai tumbuh di hatiku. Dan hal yang sama juga kurasakan dari caranya memperhatikanku. Kami salingjatuh cinta.

Dia sangat terbuka. Usia kami terpaut lima tahun. Dan dari mulutnya, aku tahu kalau dia pernah menikah. Istrinya meninggal pada 2005 karena sakit pada lambungnya.

Status dudanya tak menghalangi cinta kami. Orangtuaku juga sepertinya tidak mempermasalahkan hal itu.

Namun aku mulai merasakan hal aneh. Hampir dalam setiap pertemuan, dia berbicara mengenai HIV/AIDS. Hal sangat asing bagiku yang hanya lulusan SMA di pelosok desa.

Beberapa kali, dia juga sepertinya sengaja meninggalkan selebaran mengenai HIV/AIDS. Dari selebaran yang ditinggalkannya itulah, aku mulai mengenal apa itu HIV/AIDS.

Timbul pertanyaan, mengapa dia begitu fasih berbicara tentangitu. Jawabannya selalu sama, “kita harus waspada dengan itu. Kita harusbelajar mengenai cara pencegahan dan penularannya”. Dan aku percaya saja pada apa yang diucapkannya. Aku beranggapan, dia adalah orang yang peduli terhadap sesamanya. Itu menambah cinta di hatiku.

Tak terasa, sudah satu tahun kami menjalin hubungan. Meskipun duda, sama sekali dia tak pernah menyentuhku atau berniat macam-macam. Dia bilang, jika kita sayang dengan seseorang, kita harus menjaganya sebaik mungkin.

Sore itu, kami berjanji untuk bertemu. Dia bilang, ada hal penting yang ingin disampaikannya. Aku berpikir, dia akan mengajak menikah. Waktu itu, usiaku sudah 27 tahun. Usia yang matang bagi wanita desa untuk membina rumah tangga.

Ternyata apa yang kudengar bertolak belakang dengan keinginan. Yang dikatakannya adalah “Aku Positif HIV!!!”. Aku laksana tersambar petir. Langit bagaikan runtuh dan matahari menjadi gelap.

Laki-laki yang paling kucintai, terinfeksi HIV.

Mendengar itu, aku tak ingin berpanjang lebar. Aku langsung minta diantar pulang. Dengan tatapan berat hati karena sepertinya masih banyakyang ingin disampaikannya, ia menuruti kemauanku.

Sampai di rumah, aku terus bertanya-tanya. Mengapa baru sekarang dia mengatakan? Kalau dari dulu, tentu tak akan ada cinta sedalam ini. Dan mungkin, malah tak ada cinta sama sekali.

Waktu berjalan. Dia yang biasanya setiap hari menghubungi, kini tidak lagi. Ada yang hilang. Sisi hatiku kosong tanpanya.

Hari-hari itu, aku membaca lagi semua selebaran tenganHIV/AIDS yang ditinggalkannya. Aku mempelajari cara penularannya. Dari suami keistri, dari ibu ke anak, ternyata bisa dicegah. Aku mulai berpikir, untukmeneruskan hubungan.

Gayung bersambut. Sekitar tiga minggu setelah dia membuka statusnya, ia kembali menghubungiku dan meminta untuk bertemu. Kami kembali bersua.

Dalam pertemuan itu, dia berusaha meyakinkanku sekali lagi. Dikatakannya kalau dia tidak akan menularkan virusnya ke dalam darahku jika seandainya kami menikah. Untuk meyakinkan lebih jauh, ia mengajaku untuk datangke konseling VCT. Aku menyanggupinya.

Keesokan paginya, kami berangkat ke kota. Dia membawaku ke dokter yang biasa menjadi tempat konsultasi kaum ODHA di daerahku. Dijelaskannya berbagai hal tentang penularan dan pencegahan HIV bagi suami istri. Aku tercerahkan.

Beberapi kemudian, dia menyampaikan keinginannya untuk menikahiku. Setelah mendengar bermacam informasi tentang HIV, aku bersedia. Aku yakin, dia yang mencintaiku tak akan menjerumuskanku ke jurang.

Namun dia punya ide cukup gila. Sebelum melamarku, ia inginmemberitahukan statusnya kepada orangtuaku. Ini sangat berisiko. Orangtuaku adalah orang kampung yang sekolah hanya agar bisa membaca dan menulis. Tapi tekadnya sudah bulat. Aku menyerah.

Suatu hari, dia benar-benar datang ke rumah. Setelah sedikit berbasa basi, ia langsung menyatakan keinginannya untuk menikahiku. Orangtuaku tidak menolak selama aku mau.

Hal yang paling mendebarkan akhirnya dimulai. Secara terang-terangan, dia menyampaikan kalau dirinya positif HIV. Tentu saja orangtuaku kaget.

Namun yang paling mengagetkan adalah jawaban mereka.”Kamu sudah tahu banyak tentang informasi HIV. Tentu kamu tahu cara mencegahnya. Jika memang ini yang terbaik untuk kalian berdua, kami sebagai orangtua hanya bisa menuruti kemauan anak”.

Jawaban itu tentulah sangat mengejutkan sekaligus membahagiakan. Pada hari yang ditentukan, ia berjanji akan mengajak keluarganya untuk meminangku.

Setelah itu, ide gila calon suamiku belum berakhir. Dia ingin membuka statusnya kepada para tetangganya. Menurutnya, para tetangga sebenarnya sudah menduga-menduga kalau dia terinfeksi HIV. Hal itu dikarenakan pada 2006,dia sempat dirawat hingga empat bulan di rumah sakit.

“Mungkin waktu itu ada anggota keluargaku yang membocorkan statusku ke tetangga,” begitu katanya.

Benar saja, ia menceritakan statusnya kepada para tetangga. Mereka yang dulu hanya berani menduga, kini sudah mendapat kepastian.

Namanya orang desa, mereka heran kok bisa calon suamiku pulihdan kembali sehat padahal terinfeksi HIV. Berat badannya lebih dari 80 kilogram. Sedangkan saat baru keluar dari rumah sakit dulu, hanya 47 kilogram.Tetangga beranggapan ia sudah sembuh.

Dalam “diskusi” itu, ia menjelaskan kalau HIV tidak bisa sembuh. Dia juga menjelaskan mengenai cara penularan HIV. Virus itu tidak cukup menulari orang lain hanya dengan bersalaman, berpelukan, mandi di kali bersama, bahkan berciuman. Buktinya, keluarga dia tidak ada yang terjangkit meskipun hidup satu rumah selama bertahun-tahun.

Proses “sosialisasi” mengenai statusnya, terus berlanjut. Hingga dia melamarku, semua orang di kampungnya telah tahu kalau dia ODHA. Tak ada stigma lagi yang dirasakan. Acara kampung atau hajatan tetangga yang dulu selalu menganulirnya, kini tidak lagi. Dia selalu ada dalam keramaian di kampungnya. Keberaniannya berbicara telah membuat cibiran hilang.

Menjelang akhir 2010, kami menikah. Keberadaanku sebagai istrinya, semakin membuat stigma terhadap suamiku berkurang. Terlebih saat orang kampung tahu kalau aku negativ HIV.

Awalnya, semua orang bertanya kepadaku. Kok mau dinikahi ODHA? Tak takut tertular? Bagaimana nanti anak-anaknya? Dan sebagainya. Berbekal pengetahuanku yang pas-pasan, aku menjelaskan kepada penanyaku sebatas yang aku tahu dan aku rasakan. Mereka mengerti.

Kami sudah tiga tahun bersama. Kebahagiaan kami semakin bertambah dengan hadirnya anak pertama kami.

Sebagai istri ODHA, sekali dalam tiga bulan aku rutin memeriksakan diri. Hingga saat terakhir memeriksakan diri, hasil tesku selalu negativ.

Menjelajah Nusakambangan, Pulau Super Maximum Security

February 20, 2014

Hari masih pukul 07.00 pagi, Jumat (7/2) di Dermaga Wijaya Pura, Cilacap, Jawa Tengah telah dipadati orang-orang yang ingin menyeberang ke Pulau Nusakambangan. Sebagian besar dari mereka adalah petugas di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan. Wijaya Pura, adalah dermaga khusus yang melayani penyeberangan menuju Dermaga Sodong, Nusakambangan Cilacap. Sodong merupakan pos pertama sebelum masuk ke komplek Lapas Nusakambangan.

Sebagian besar kita, tentu pernah mendengar nama Nusakambangan. Ya, di pulau selatan Cilacap ini memang berdiri beberapa Lapas. Yang paling terkenal adalah Lapas Batu dan Lapas Pasir Putih. Beberapa warga binaan atau Narapidana (Napi) kelas kakap pernah merasakan dinginnya lantai Lapas Nusakambangan.

Sebut saja Tomy Soeharto, Bob Hasan, Jhony Indo, Imam Samudra Cs, Ryo Martil, Fredy Budiman dan masih banyak lagi pernah menghuni Lapas Batu. Sementara di Lapas Pasir putih, Abu Bakar Ba’asyir, Syailendra, dan Gunawan Santosa kini tercatat sebagai penghuni Lapas yang masuk kategori Super Maximum Security (SMS).

Namun tak banyak yang tahu kalau di Nusakambangan terdapat tujuh bangunan Lapas. Selain dua Lapas tersebut, secara berurutan terdapat Lapas Terbuka, Lapas Narkotika, Lapas Permisan, Lapas Besi, dan Lapas Kembang Kuning. Beberapa waktu lalu, dalam sebuah tugas peliputan saya merasa beruntung ketika bisa melihat dekat seluruh Lapas di Nusakambangan.

Dari tujuh lapas di Nusakambangan, ternyata hanya Lapas Batu saja yang masuk kategori Kelas I. Dan Kalapas Batu, saat ini adalah Liberti Sitinjak, adalah koordinator Kalapas lain di Nusakambangan.

Bukan perkara mudah untuk masuk ke Nusakambangan. Di pos jaga Dermaga Wijaya Pura, semua harus diperiksa. Setelah mengisi buku tamu ditanya tentang kepentingannya, dan meninggalkan identitas, saya baru diperkenankan ke kapal yang telah tertambat. Sebelumnya, petugas di sini memberikan kartu tamu yang khusus diperuntukkan bagi insan pers.

Perjalanan dari Dermaga Wijaya Pura ke Dermaga Sodong, memakan waktu sekitar 15 menit. Di sini, saya kembali lapor ke Pos Sodong. Setelah memperlihatkan kartu tamu yang menunjukkan saya adalah awak media, petugas meminta untuk mengisi buku tamu. Selesai dengan semua perijinan, barulah saya diperkenankan masuk ke dalam komplek Lapas Nusakambangan.

Satu-satunya sarana transportasi bagi “orang luar” hanyalah bus yang antar jemput petugas Lapas yang terparkir di Sodong. Bus ukuran 3/4 ini cukup nyaman karena dilengkapi dengan pendingin udara.

Begitu bus berjalan, pemandangan yang jarang Tribun temui terhampar. Di sisi kanan tampak birunya air Segara Anakan. Sementara di sebelah kiri, alang-alang yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa tumbuh liar.

Bangunan pertama yang tampak adalah sebuah pos polisi. Di sini, beberapa petugas kepolisian dari Polres Cilacap berjaga 24 jam penuh.

Sekitar lima menit perjalanan, suasana Nusakambangan “sebenarnya” mulai terasa. Betapa tidak, di kiri kanan hanya ada ilalang tinggi dan pohon-pohon besar mengapit jalan aspal dengan lebar sekitar empat meter.

Walaupun jalan di sini terbilang mulus, namun arus lalu lintas sangatlah sepi. Praktis, pengguna jalan ini hanyalah pegawai Lapas. Selama perjalanan sejak Sodong hingga Lapas Batu selama sekitar 30 menit, jumlah kendaraan dari arah sebaliknya bisa dihitung dengan jari.

Namun demikian, banyak rambu-rambu lalu lintas terpasang. Setiap menjelang ada tikungan tajam, tampak selalu didahului dengan rambu peringatan.

Kondisi malam di Nusakambangan memang sangat mencekam. Penerangan jalan terpusat di Lapas. Di kiri kanan jalan, sama sekali tidak terpasang penerangan jalan umum.

Jarak dari satu Lapas ke Lapas lainnya juga lumayan jauh. Jarak terjauh, antara Lapas Terbuka ke Lapas Batu. Sekitar 15 menit perjalanan.

Cerita mistik tersebar di setiap Lapas. Khususnya bagi mereka yang bertugas jaga malam. Petugas di Lapas Batu, Panji satu di antara pegawai Lapas yang pernah “diganggu”.

“Waktu jaga di pos, seperti digoyang-goyang gitu. Tapi yang pasti, hampir semua mendengar suara orang berjalan dengan sepatu PDL. Ketika ditengok tidak ada apa-apa,” demikian katanya.

Namun bagi penjaga Lapas, hal semacam itu dirasakan biasa. Tuntutan tugas mengharuskan mereka membuang semua rasa takutnya.

Demikian juga dengan petugas lainnya, Tiyong. Semangat tugas, mengalahkan segala ketakutannya. Ia selalu memenuhi kewajiban sebagai petugas Lapas walaupun terselip rasa takut saat hendak berangkat kerja.

Dikisahkannya, saat kali pertama Lapas Pasir Putih digunakan pada 2008, warga asli Nusakambangan ini diperbantukan di Lapas tersebut. Sedangkan rumahnya terletak di dekat Lapas Batu. Jaraknya sekitar 10 kilometer.

Waktu itu, kondisi jalan di Nusakambangan belum sebagus saat ini. “Jalannya sudah aspal tapi terkelupas. Jadi harus benar-benar hati saat berkendara. Di samping itu, jujur, takut juga. Sepanjang jalan tak berhenti baca doa. Namun demi tugas, setakut apapun harus berangkat,” terangnya.

Ia bersyukur, walaupun banyak mendengar cerita tentang penampakan di Nusakambangan, dirinya tak pernah melihatnya. “Tapi kalau binatang buas, ular sanca ataupun kobra, biasa,” sambung dia.

Selain cerita mistis, di Nusakambangan juga banyak menyimpan cerita tentang banyaknya binatang buas. Mulai dari landak, ular, babi hutan, bahkan macan kumbang dan macan tutul.

Kalapas Pasir Putih, Tejo Harwanto mengatakan, sejak bertugas di Nusakambangan ia telah empat kali berpapasan dengan hewan buas. Tiga kali berjumpa macan kumbang dan sekali berpapasan dengan macan tutul.

Ia paling ingat saat berpapasan dengan macan tutul beberapa waktu lalu. Malam itu, ia hendak pulang menuju rumah dinasnya. Setelah melewati pos polisi ia melihat seekor macan tutul menyeberang jalan.

Melihat macan tutul, Tejo memperlambat laju mobilnya. Kucing besar ini pun berlalu. Namun tak lama kemudian, macan tutul itu keluar dari semak-semak.

“Macan itu kembali dan melihat ke arah saya. Begitu melihat saya dan tahu saya Kalapas Pasir Putih, ia (macan tutul) takut lantas kembali masuk ke hutan,” katanya berkelakar.

Beberapa hari di Nusakambangan, saya berkesempatan menjelajah pulau ini. Dulunya, di Nusakambangan terdapat sembilan Lapas. Namun saat ini, lima Lapas di Nusakambangan telah menjadi kenangan. Masing-masing adalah Lapas Geliger, Lapas Karangtengah, Lapas Limus Buntu, Lapas Nirbaya dan Lapas Karanganyar. Sedangkan tiga lapas (narkotika, terbuka, dan pasir putih) adalah bangunan baru.

Menurut keterangan pegawai senior di Lapas Batu, Bambang Purwatno, bekas Lapas lama yang bisa dilihat saat ini tidak banyak. Hanya sisa-sisa bangunan Lapas Limus Buntu saja yang masih tampak jelas.

Bekas bangunan Lapas Limus Buntu terletak tepat di belakang pos polisi Nusakambangan. Masih tampak tembok bekas Lapas yang sudah dipenuhi lumut. Karena sudah tak digunakan, bangunan Lapas ini pun tak terawat sama sekali.

Sisa bangunan Lapas lainnya yang masih bisa disaksikan adalah Lapas Nirbaya. Namun, bagi siapa saja yang ingin melihat sisa-sisa Lapas yang dibangun 1969 ini harus menempuh medan berat. Mengendarai sepeda motor trail, bersama Bambang, Tribun diantarkan ke puing-puing Lapas Nirbaya.

Dari Lapas Batu, untuk menuju Nirbaya mengambil arah ke Dermaga Sodong. Beberapa ratus meter dari Lapas Batu, mengambil arah ke selatan masuk ke dalam hutan. Jalan langsung menanjak dan berbatu.

Semula jalan yang dilalui cukup lebar. Namun, semakin masuk ke hutan, lebar jalan kian menyempit. Sisi kiri kanan jalan, ilalang tumbuh setinggi lutut orang dewasa. Rimbunnya ilalang dan belukar, membuat lebar jalan hanya seukuran ban sepeda motor. Praktis, cuma di beberapa titik saja lebar jalan bisa digunakan untuk mendahului kendaraan di depan.

Saat berkendara juga harus ekstra hati-hati. Terkadang, ranting-ranting pepohonan besar tumbuh liar hingga melintang di tengah jalan. Tribun dipaksa harus menundukkan kepala dalam-dalam setiap melintas di bawah ranting-ranting liar.

Sekitar 30 menit berjibaku dengan jalanan terjal, Bambang yang memandu Tribun menghentikan kendaraannya. Tribun melihat sekitar lokasi, namun sama sekali tak tampak ada bekas bangunan. Hanya rimbunnya pepohonan di tengah hutan Nusakambangan.

“Di sini tempatnya. Saya menghabiskan satu tahun masa kecil di sini. Kebetulan pada 1969, ayah saya ditugaskan di Nirbaya,” kata Bambang.

Bambang kemudian menyibak lebatnya ilalang menggunakan sebuah parang. Setelah itu, barulah tampak sebuah prasasti besar setinggi lebih dari tiga meter bertuliskan Nirbaya dengan huruf kapital.

Sisa keangkeran Lapas khusus tahanan politik ini tak bisa lagi disaksikan. “Bangunannya ada di bawah. Tapi sudah hampir pasti tak ada lagi,” terang Bambang sambil menunjuk lebatnya hutan yang kini tumbuh di atas bekas areal Lapas Nirbaya.

Dulu, kisahnya, bangunan Nirbaya berbentuk semi permanen. Hanya bagian pondasi dan sedikit ke atas saja yang merupakan bangunan permanen. Sedangkan sebagian besar tembok, menggunakan papan.

Saat Lapas masih beroprasi, jalan menuju Nirbaya cukup lebar bahkan untuk dilalui truk sekalipun. Menurut Bambang, waktu masih tinggal di Nirbaya, ada mobil yang datang untuk menjemputnya ke sekolah setiap pagi.

“Mobil terpusat di (Lapas) Batu. Setiap pagi menyebar ke seluruh Lapas lain untuk menjemput anak-anak sekolah,” jelasnya.

Lantas bagaimana kondisi bekas Lapas lainnya? Bambang mengatakan, keadaan bekas Lapas lain tak berbeda jauh dengan Nirbaya. Tribun tidak sempat mengunjungi bekas Lapas Karang Tengah, Karanganyar, dan Geliger karena akses jalan yang sulit.

Menurut pegawai senior di Lapas Batu lainnya, Priyono Slamet, pada 1986 ada kebijakan untuk menggabungkan Lapas. Karena itulah, lima Lapas tersebut akhirnya dikosongkan. Alasannya, jelas Pri, karena akses jalan ke lima Lapas tersebut yang cukup jauh dan sulit.

Jumlah Lapas yang semakin sedikit, turut andil dalam berkurangnya berbagai fasilitas. “Dulu ada rumah sakit, sekolah, dan lainnya. Tapi saat ini itu sudah tidak ada lagi,” tuturnya.

Penjelajahan tidak berhenti sampai di bekas bangunan Lapas semata. Saya pun kemudian mengeksplor sisi barat dan selatan Nusakambangan. Di sini, sekitar 100 meter dari Lapas Pasir Putih, terdapat sebuah pantai nan indah.

Sebelum masuk ke kawasan pantai, berdiri gapura bercat merah. Di bagian atas gapura, tampak sebuah tulisan “KOMANDO”. Di tempat inilah anggota baru Komando Pasukan Khusus (Kopassus) melakoni pembaretan.

Begitu masuk ke areal pantai, beberapa pulau karang berdiri kokoh. Birunya air dan ombak besar bergulung-gulung menghantam pulau karang memecah kesunyian.

Di sebuah pulau karang di sisi timur, terdapat sebuah tugu berbentuk pisau komando. Selain pisau, di pulau karang ini ditumbuhi sebuah pohon kelapa. Tinggi tugu pisau komando dan pohon kelapa tak jauh berbeda. Di pulau karang lain, terdapat tugu lain berbentuk pohon beringin yang merupakan simbol Kementerian Hukum dan HAM. Di bagian bawah tugu ini tertulis “Kementerian Hukum dan HAM Lembaga Pemasyarakatan”.

Kisah Penghuni Terakhir Kamp Kusta di Bokor

January 4, 2012

Tan Cuan Sei (70), Thian Sin (67), dan Ong Siu Lan (66), adalah tiga sekawan senasib seperjuangan. Mereka adalah penghuni terakhir kamp pengasingan bagi penderita kusta di hulu Sungai Bokor, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Meranti.

SYAHDAN perkampungan kusta yang kini sudah kosong itu terbentuk kala zaman penjajahan Jepang. Ketika itu di kawasan Tebingtinggi, Selatpanjang banyak warga ditemukan menderita penyakit kusta dan oleh Jepang dan mereka diasingkan karena dianggap aib bagi keluarga.

Sejak itu, setiap ditemukan penderita kusta, selalu dikirim ke kamp pengasingan ini. Sebagian besar dari penghuni kamp ini adalah warga keturunan Tionghoa. Dulunya, mereka tinggal di gubug-gubug kayu. Namun sekitar empat tahun belakangan, mereka mendiami sebuah rumah permanen. Rumah ini layaknya sebuah asrama dengan banyak kamar.

Tapi kini, kamp pengasingan itu telah kosong. Tan Cuan Sei, Thian Sin, dan Ong Siu Lan, adalah penghuni terakhir kamp tersebut. Tiga sejawat yang telah renta ini, sejak 11 Agustus 2011 tinggal di sebuah panti di Kelurahan Kampung Baru, Tebingtinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti.

Pertengahan Desember lalu, Tribun, berkesempatan bertatap muka langsung dengan ketiga penghuni terakhir kampung kusta itu. Diperhatikan secara sekilas, tidak ada sedikitpun perbedaan tiga orang tersebut dengan orang yang sudah berusia lanjut.

Rambut sudah memutih, kulit keriput, dan ketika tersenyum atau berbicara, tampak gigi yang sudah tidak utuh. Namun jika diperhatikan lebih seksama, barulah terlihat perbedaan mencolok dibanding orang normal lainnya. Ketiga orang ini menyimpan cerita sangat mengejutkan.

Duduk paling dekat dengan pintu adalah Tan Cuan Sei. Meski telah rikuh, sisa-sisa kekekaran tubuhnya masih terlihat. Tingginya sekitar 165 cm. Bertelanjang dada, mengenakan celana pendek hijau, ia memulai kisahnya. Menurutnya, ia mulai memiliki tanda-tanda terkena kusta sejak ia berusia sekitar 10 tahun. Saat itu, singkatnya di bagian muka sebelah kiri, tepatnya di atas bibirnya, terdapat bercak merah.

Sontak, melihat tanda-tanda itu, orangtua dan anggota keluarg Cuan Sei lainnya, menyangka ia terkena kusta. Sejak saat itulah, hidupnya berubah total. Anggota keluarganya mulai menjaga jarak dengannya. Demikian pula dengan teman-temannya di bangku sekolah Tionghoa. Dirasakan Cuan Sei, mereka mulai mengucilkannya.

Seiring perjalanan waktu, bercak merah di wajahnya tidak juga hilang. Dugaan ia terkena kusta pun semakin santer. Hal itu kian menyiksanya. Pada akhirnyan Cuan Sei keluar dari sekolah.  Saat itu, ia mengaku sudah belajar hingga kelas 8 sekolah Tionghoa.

Meskipun sempat bersekolah, namun Cuan Sei tidak lancar berbahasa Indonesia. Dibantu seorang penerjemah, Bakhtiar, Tribun, menyimak kisah Cuan Sei. Karena tak kunjung sembuh, lanjut Cuan Sei, meskipun sudah berusaha diobati ala kadarnya, menjadikan Cuan Sei semakin terpukul. Ia mulai mengucilkan dirinya. Sehari-hari, ia hanya mengurung diri di kamar. Praktis, ia keluar dari kamar, hanya untuk makan, mandi dan sedikit kebutuhan mendesak lainnya.

Lama kelamaan, Cuan Sei pun semakin tertekan. Kian hari, ia semakin dikucilkan. Ia merasa sendiri. Tak tahan lagi, dengan sukarela, ia meminta kepada anggota keluarga untuk mengantarkannya ke Bokor. Tidak beberapa lama setelah menyampaikan keinginannya, ia diantarkan keluarganya untuk memulai pengasingannya.

“Saya masih ingat betul. Saya diantarkan ke Bokor tanggal 10 Desember 1960,” kata Bakhtiar menerjemahkan kenangan Cuan Sei.

Kali pertama menginjakkan kaki di Bokor, menurut ceritanya, di tempat itu sudah diisi oleh puluhan orang pengidap kusta. Pada tahun itu, menurutnya, mereka tinggal di gubug-gubug yang terbuat dari kayu. Cuan Sei menuturkan, ia mengetahui benar-benar terkena kusta, justru setelah di Bokor. Pasalnya, seiring berjalannya waktu, ruas jari kedua tangan dan kaki kanannya berkurang satu persatu. Ketika Tribun menemuinya, Cuan Sei bahkan sudah tidak bisa lagi mengangkat kedua belah tangannya tegak lurus kedepan.

Selain jemari tangan dan kakinya yang tidak utuh, kakek yang tidak menikah seumur hidupnya ini juga mempunyai masalah baru. Ia juga menderita katarak. Penyakit ini mengakibatkan pandangan matanya menjadi kabur.

Tidak ketika hidup saja penderita kusta di Kampung Bokor dikucilkan. Saat meninggalkan pun,  jenazah mereka dikubur ‘ala kadarnya’ tanpa nisan sebagai penanda.

TAN Cuan Sei (70) yang telah bercerita panjang lebar tentang bagaimana sejarah awal kedatangannya ke kamp pengasingan bagi penderita kusta di hulu Sungai Bokor, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, memang penghuni terakhir kamp paling tua. Namun ia bukanlah penghuni terlama.

Thian Sin (67), yang duduk disebelah Cuan Sei saat diwawancarai, ternyata lebih senior dibanding dirinya bergabung di Kampung Kusta Bokor. Menurut Thian Sin yang berperawakan sedang, ia datang beberapa minggu sebelum Cuan Sei tiba di Bokor.

Total 51 tahun Thian Sin menjadi penghuni Kampung Kusta Bokor, sebelum akhirnya tinggal di sebuah panti di Kelurahan Kampung Baru, Tebingtinggi, Meranti, sejak 11 Agustus 2011 lalu.

Thian Sin juga menyimpan cerita memilukan selama setengah abad tinggal dipengasingan.

Ketika saya bertemu dia, pertengahan Desember lalu, Thian Sin mengaku sudah menjadi penghuni Bokor sejak usia 16 tahun. Tidak berbeda jauh dengan Cuan Sei, ia juga tidak fasih berbahasa Indonesia. Gigi bagian depannya yang sudah tak lengkap, membuat apa yang diucapkan Thian Sin membutuhkan pendengaran ekstra.

Berbeda dengan Cuan Sei yang secara sukarela menetap di Bokor, Thian Sin mengaku mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat tempat tinggalnya di Selatpanjang.

Hampir serupa dengan kisah Cuan Sei, Thian Sin disangka menderita penyakit menular itu pada usia sekitar10 tahun. Saat itu, ada bercak-bercak merah di kulit mukanya. Tepatnya di sekitar hidungnya.

Disangkakan menderita kusta, ia pun mendapat perlakuan diskriminatif dari teman-teman sebayanya.Perlakuan tersebut akhirnya memaksa Thian Sin meninggalkan sekolahnya. Menurutnya, ia meninggalkan bangku sekolah ketika masih kelas 4 sekolah Tionghoa.

Thian Sin mengungkapkan, awalnya, anggota keluarganya tidak begitu mempersoalkan bercak merah di hidung Thian Sin. Ia pun masih diperlakukan sama dengan anggota keluarga lainnya.

Petaka terjadi ketika rumah orangtuanya habis terbakar. Kejadian itu memaksa seluruh keluarga Thian Sin pindah ke daerah lain, meski masih di wilayah Selatpanjang.

Di tempat tinggal barunya inilah, ia mulai mendapat masalah. Warga di sekitar tempat tinggalnya tidak bisa menerima kehadiran Thian Sin. Tidak kuat menahan tekanan, akhirnya ia pun dikirim ke Bokor.

“Menurut cerita yang saya dengar, ketika itu (generasi pertama orang-orang kusta yang dibuang ke Bokor) ada sekitar 30 orang. Semuanya berasal dari daerah yang kini masuk Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kabupaten Bengkalis,” kata Thian Sin.

Selama 51 tahun hidup bersama penderita kusta, bercak merah di wajahnya
sama sekali tidak bertambah. Hanya saja, menurut Thian Sin, hidungnya jadi sedikit lebih pesek dibandingkan sebelumnya.

Jika diperhatikan lebih seksama, hidung Thian Sin memang tampak berbeda dengan hidung manusia normal kebanyakan. Demikian juga dengan jarak antara bibir dan hidungnya yang tampak tidak proporsional.

Thian Sin menambahkan, menjadi penghuni Bokor lebih dari lima dasawarsa, ia menjumpai puluhan orang. Namun jumlahnya hanya berkisar 20 orang hingga 30 orang saja. Pasalnya jumlah pendatang baru diimbangi dengan jumlah pengidap kusta yang meninggal.

Menurut penuturannya, apabila ada orang yang meninggal di Bokor, pengidap kusta saling bahu membahu menguburkan jenazah. Keterbatasan membuat mereka menguburkan jenazah rekannya dengan ala kadarnya.

Tidak ada pemuka agama yang memimpin doa. Bahkan, mereka pun tidak memberikan batu nisan ataupun tanda lain yang mengisyaratkan kalau di situ ada sebuah makam. Areal pemakaman juga hanya berada di sekitar areal rumah mereka.

Walaupun 51 tahun hidup di Bokor, Thian Sin tidak mengetahui angka pasti berapa jumlah pengidap kusta yang meninggal di tempat itu. “Makamnya juga ala kadarnya,” ucapnya.

Kejadian yang merenggut kehidupan Ong Siu Lan (66), 43 tahun lalu tetap abadi dalam ingatannya. Meski telah sepuh, memorinya masih kuat mengingat kekejaman sang suami dan mertua.

ONG Siu Lan adalah satu-satunya perempuan dari tiga penghuni terakhir Kampung Kusta Bokor yang tersisa. Termuda dari ketiga penghuni kamp pengasingan bagi penderita kusta di hulu Sungai Bokor, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Meranti, Siu Lan mengaku jika ia paling sebentar mendiami kamp.
“Hanya selama 43 tahun,” ujarnya singkat, ketika ditemui pertengahan Desember 2011 di sebuah panti yang kini menjadi tempat tinggalnya di Tebingtinggi, Meranti, setelah meninggalkan kamp pengasingan Agustus 2011.

Kisah pilu pun tak jauh dari kehidupan Siu Lan, hingga akhirnya berlabuh di kamp pengasingan.
Ia disangka mengidap kusta saat usia pernikahannya baru enam bulan. Ketika itu, mertuanya melihat ada bercak-bercak merah di lengannya.

Kecurigaan keluarga suaminya semakin menjadi karena bercak merah tersebut tidak segera hilang. Tidak lama berselang, ia akhirnya dipaksa untuk meninggalkan rumah menuju Bokor.Untuk membuat Siu Lan mau “diungsikan” ke Bokor, suami dan mertuanya mengancam akan melaporkan dirinya ke petugas pemerintah. Mendengar ancaman itu, tentu saja Siu Lan jadi semakin tertekan dan takut.

Sebenarnya, kisah Siu Lan, ia menolak ketika hendak diantarkan ke Bokor. Namun ia tak kuasa, setelah mertua lelaki, suami dan seorang tetangga memaksanya.

“Saya sempat melompat dari perahu, tapi diseret kembali untuk naik,” kata Siu Lan yang kehilangan ibu jari tangan kanannya karena kusta ini.

Ia juga menyimpan cerita memilukan. Dua tahun hidup di Bokor, stok pakaian yang ia gunakan sehari-hari mulai menipis. Karena tidak mungkin meminta kepada penghuni Kampung Kusta Bokor lainnya, akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah mertuanya.Tidak tanggung-tanggung, ia pulang ke rumah mertuanya yang juga berada di Pulau Rangsang dengan berjalan kaki. Bersama seorang rekannya yang juga berasal dari daerah tempat tinggal mertuanya, Siu Lan berjalan selama sehari semalam.

“Dari Bokor ke rumah mertua saya, harus berjalan kaki masuk keluar hutan,” cerita Siu Lan.

Sesampainya di rumah mertuanya, bukannya mendapatkan pakaian, ia malah kembali diperlakukan tidak menyenangkan. Siu Lan kembali di usir.

“Akhirnya saya kembali ke Bokor. Mau kemana lagi selain ke sana,” katanya.

Ia menerangkan, jumlah wanita pengidap kusta di Bokor tidak begitu banyak. Seingatnya selama 43 tahun menghuni Bokor, hanya ada empat atau lima orang wanita saja yang menghuni Bokor.

“Namun tidak ada anak-anak yang diasingkan ke Bokor,” imbuhnya.

Rumpun bambu
Potret miris kelompok yang terlupakan ini, makin memilukan hati ketika mereka bercerita bagaimana cara bertahan hidup. Tan Cuan Sei, Thian Sin, Ong Siu Lan dan sejawat mereka yang telah meninggal, mengandalkan kerajinan tangan dari bambu untuk memenuhi kehidupan hidup sehari-hari.
Menurut Cuan, di daerah sekitar tempat tinggalnya, banyak ditemukan rumpun bambu.

Rumpun bambu tersebut, tidak tumbuh dengan sendirinya. Melainkan ditanam oleh generasi penghuni Bokor sebelum mereka. Sadar akan kebutuhan mereka akan rumpun bambu, selain menebang, mereka juga menanamnya.
Dalam satu minggu, penghuni kamp tersebut biasanya memproduksi sepuluh buah anyaman bambu. Sayang, ketika berkunjung ke rumah tinggal mereka, seluruh kerajinan tersebut sudah habis terjual.

Saat masih di Bokor, ketika kerajinan anyaman bambu sudah siap dipasarkan, Tan Cuan Sei dan Thian Sin lah yang diserahi tugas menjualnya. Hasil karya mereka, di jual di tanah kelahiran mereka, Selatpanjang.
Untuk menjual hasil karya mereka ke Selatpanjang, butuh perjuangan ekstra. Keduanya harus menggunakan sampan. Dengan kusta yang dideritanya, Tan Cuan Sei dan Thian Sin mendayung sampan selama 3 jam hingga 4 jam.

Di Selatpanjang sudah ada seorang yang siap membeli karya mereka. Namun harganya tidak bisa dipatok. Pasalnya, menurut keterangan keduanya, sang pembeli tetap membeli karya mereka dengan alasan kemanusiaan.

“Tidak jarang kami dibayar berkalilipat dari harga sebenarnya,” ucap Cuan Sei.

Ada cerita menarik mengenai pembeli benda kerajinan anyaman bambu mereka. Menurut penuturan Cuan Sei, ia sudah menjual hasil anyaman sejak puluhan tahun lalu. Bahkan saat ini, si pembeli tetap itu merupakan generasi ketiga.

“Dulu yang membeli kakeknya dan sekarang cucunya yang selalu membeli barang dagangan kami. Namanya Bi Han Ning,” kata Cuan Sei.

Cuan Sei menambahkan, ketika berada di Selatpanjang untuk menjual kerajinan tangan, awalnya ia sering mampir ke rumah orangtuanya. Sekadar ingin mengobati rindu, beristirahat ataupun melepas lapar dan dahaga. Namun menurutnya, keluarganya sudah benar-benar menutup pintu untuk Cuan Sei. Saat bertandang, katanya, ia memang disuguhi minum atau makanan. Tapi, minuman dan makanan itu diletakkan di depan pintu.

Suplai obat-obatan
Selain mengandalkan hasil penjualan hasil kerajinan, mereka juga mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Ada sebuah yayasan yang membantu menyuplai pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Sementara untuk keperluan obat-obatan, mereka mendapatkan bantuan dari organisasi Katholik. Thian Sin mengisahkan, pada tahun 1980-an, seorang pastur dengan beberapa perwakilan gereja secara rutin berkunjung ke Bokor.

Awalnya, lanjut Thian Sin, pastur berkewarganegaraan Italia bersama rekan-rekannya datang setiap bulan. Namun karena akses transportasi yang sulit, akhirnya rombongan ini datang sekali setiap dua bulan dalam rentang waktu enam hingga tujuh tahun. Namun setelah itu, sang pastur asal Italia tersebut tidak pernah lagi mengunjungi mereka.

“Namun saya lupa siapa nama pastur tersebut. Peristiwanya sudah lama sekali. Sekitar 20 tahun lalu,” ucapnya.

Berdasarkan penelusuran Tribun, pastur tersebut bernama Albino Orsi. Saat ini, sang penolong yang sudah berumur hampir 90 tahun tengah terserang Parkinson. Albino Orsi, kini menjalani perawatan di rumah induk Xaverian Parma, Italia.

Bantuan juga datang dari pemerintah. Beberapa tahun lalu, kata Cuan Sei, pemerintah setempat (saat itu Pulau Rangsang masih masuk kawasan Kabupaten Bengkalis) membangun rumah (semacam asrama) permanen untuk mereka. Namun sayangnya, mereka tidak lama menghuni asrama ini.

“Tentu kami lebih memilih tinggal di sini (Selatpanjang),” lanjut Cuan Sei.

Setelah berada di Selatpanjang, ketiganya mengaku sangat senang. Mereka merasa kembali menjadi orang normal, meskipun tinggal di areal yang cukup jauh dari keramaian. Ketiganya mengaku tidak merasa khawatir lagi apabila ada di antara mereka yang sakit. Mereka bisa segera meminta bantuan kepada penduduk sekitarnya.

Kamp pengasingan bagi penderita kusta di hulu Sungai Bokor, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Meranti, sudah ditinggal Siu Lan, Cuan Sei, dam Thian Sian, sejak Agustus 2011. Kini mereka menghabiskan sisa umur di sebuah panti di Kelurahan Kampung Baru, Tebingtinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ya, mereka lega bisa kembali ke kampung halaman, setelah dikucilkan puluhan tahun. Meski gurat- gurat penderitaan belum sepenuhnya hilang, tapi setidaknya ketiga sejawat ini kembali merasa dimanusiakan.

Adalah Ketua Bidang Kepemudaan Paguyuban Sosial marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Cabang Selatpanjang, Han Hai yang ngotot membawa mereka “pulang”. Ketika ditemui di kantor Ikatan Pemuda PSMTI Selatpanjang, pertengahan Desember 2011 lalu, pria 50 tahun yang lebih dikenal dengan nama Atai ini mengatakan sudah lama mendengar tentang keberadaan para penderita kusta di Bokor. Namun baru pada Juni 2011 ia berkesempatan mengunjungi para penderita kusta tersebut. Saat itu bertandang ke Bokor, ia diajak Persatuan Wanita Tionghoa Indonesia (Perwanti) yang ketika itu tengah melaksanakan bakti sosial.
Sesampainya di Bokor, ia merasa sangat terkejut. Asrama tersebut hanya diisi oleh tiga orang. Selain itu, usia mereka juga sudah renta. Ditambah lagi dengan keberadaan seorang wanita dan Tan Cuan Sei yang juga mengalami gangguan penglihatan karena katarak.

Hal yang paling membuatnya haru adalah ketika mendengar keinginan Tan Cuan Sei yang hendak mengakhiri hidupnya. Bukan tanpa sebab, Cuan Sei ingin bunuh diri karena frustrasi dengan beratnya beban hidup yag ditanggung selama di pengasingan.

Keterangan Atai, Thian Sin mempunyai seorang anak angkat. Yakni anak dari adiknya yang tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Sementara Ong Siu Lan juga masih mempunyai keluarga di Tanjung Balai.
Rencananya, kedua orang tersebut hendak pergi ke tempat sanak keluarga yang masih tersisa. Thian Sin ke Batam dan Ong Siu Lan ke Tanjung Balai. Sementara Tan Cuan Sei tidak tahu harus kemana.

Oleh karena itulah, kata Atai, Cuan Sei berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Pada pertemuan itu, Tan Cuan Sei juga berpesan kepadanya, agar Kabid Kepemudaan PSMTI Selatpanjang ini mengurus jenazah dan pemakamannya.

“Sekarang siapa yang tidak terharu dan tersayat hatinya mendengar permintaan semacam itu. Meskipun kusta, dia juga manusia. Mempunyai hak hidup yang sama,” ujar Atai berapi-api.

Sepulang dari Bokor, Atai lantas membicarakan masalah tersebut dengan PSMTI dan yayasan lain yang mengurus keberadaan mereka di Bokor. Ia meminta izin agar diperbolehkan membawa ketiganya pulang ke Selatpanjang.

Terjadi perbedaan pendapat. Akar perbedaan itu adalah sifat kusta yang menular. Tentu saja ada yang khawatir apabila ada orang dengan kusta di lingkungan sekitarnya. Setelah melalui perdebatan, sekitar sebulan kemudian, akhirnya Atai memperoleh izin untuk membawa ketiganya pulang.

“Syaratnya harus ada surat keterangan dokter yang menerangkan kalau penyakit mereka tidak menular,” imbuhnya.

Sebagai langkah awal sebelum membawa mereka pulang, Atai memeriksakan kondisi ketiganya di UPTD Rangsang Barat. Bersama lima orang temannya, ia membawa ketiganya menggunakan sepeda motor ke Puskesmas tersebut.

Bukan perkara mudah membawa mereka ke Puskesmas. Pasalnya, mereka harus menempuh perjalanan melintasi jalan yang tidak mulus. Ditambah lagi, mereka juga harus menggunakan perahu untuk sampai di camp. Setelah diperiksa, tim medis menyatakan, kusta yang diderita ketiganya sudah tidak menular kepada orang lain. Di sini, Atai berpisah dengan ketiga pengidap kusta tersebut. Bersama rekannya, ia pulang ke Selatpanjang. Sementara Tan Cuan Sei, Thian Sin dan Ong Siu Lan, pulang ke Bokor untuk berkemas-kemas.
Namun mereka belum bisa pindah saat itu juga. Pasalnya, saat itu adalah bulan tujuh. Dalam kepercayaan mereka, bulan tujuh merupakan bulan hantu.

“Jadi baru pada bulan Agustus lah mereka pulang ke Selatpanjang,” ujarnya.

Sesampainya di Selatpanjang, mereka bertiga lalu ditempatkan di bangunan yang dulunya merupakan panti jompo. Sebelum kedatangan mereka, bangunan tersebut kosong. Setelah berada di Selatpanjang, kebutuhan hidup mereka kini ditanggung oleh berbagai yayasan termasuk Ikatan Pemuda PSMTI.

“Dalam waktu dekat, saya ingin memeriksakan mata Cuan Sei yang terkena katara,” tuturnya.

Meskipun kebutuhan hidup mereka ditanggung, namun bukan berarti ketiga pengidap kusta ini menjadi malas. Tan Cuan Sei, Thian Sin dan Ong Siu Lan tetap membuat anyaman bambu. Di sisi lain, persahabatan di antara ketiganya sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Dikisahkan Atai, sehari setelah tiba di Selatpanjang, Thian Sin pergi ke rumah anak angkatnya di Batam.

Namun, Thian Sin tidak betah tinggal bersama anak angkatnya. Sebulan kemudian ia pun memilih pulang ke Selatpanjang untuk berkumpul bersama kedua temannya.

“Sebagian besar hidup saya, saya habiskan bersama mereka. Mereka lebih dari sekadar sahabat,” ucap Thian Sin menutup perjumpannya dengan Tribun.

Kusta masih ditemukan
Staf pengelola program kusta Kabupaten Kepulauan Meranti, Fitri Rahmawati ketika dihubungi Tribun, akhir Desember 2011 mengatakan, Bokor sebagai tempat pembuangan pengidap kusta sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang.

Hal itu dikarenakan ketika itu banyak masyarakat yang menganggap kusta merupakan penyakit kutukan. Sehingga, si penderita akan mengalami dua hal mengerikan. Pertama, dia mengidap kusta  dan kedua, mendapat stigma negatif dari masyarakat.

Fitri mengungkapkan, pada 2008 lalu ia pernah berkunjung ke Bokor. Ketika itu, ia merupakan tenaga kesehayan di UPTD Anastata, Rangsang Barat. Ketika berkunjung ke sana, menurutnya ada lima orang penderita. Kelima orang tersebutsaat itu sudah sembuh secara medis. Masa pengobatan penderita kusta tersebut telah selesai.

“Pengobatan terhadap kusta antara 6 bulan hingga 12 bulan,” ucapnya.

Namun ditambahkannya, para pengidap kusta tersebut tidak mau pulang ke kampung halamannya. Alasan mereka, kata Fitri, malu dan khawatir kalau mereka tidak diterima oleh masyarakat sekitar. Ditambah lagi, ada seorang mantan pengidap kusta yang sudah tidak mempunyai sanak famili.

“Karena itu, mereka memilih bertahan di Bokor,” imbuhnya.

Saat ini menurut Fitri, secara nasional kasus kusta di Kabupaten Kepulauan Meranti sudah dieliminasi. Artinya jumlah pengidap kusta sudah berada di bawah 1 persen dari total jumlah penduduk. Meskipun demikian, yang paling dikhawatirkannya adalah pihaknya masih terus menemukan kasus baru pengidap kusta. Pada tahun 2011 hingga tri wulan ketiga, ia menemukan sebanyak 12 orang pengidap kusta baru di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti.

Fitri menambahkan, sebagian besar kasus kusta baru ditemukan di Desa Bungur, Kecamatan Rangsang Barat. Masih satu kecamatan dengan Bokor. Di wilayah ini, katanya terdapat dua orang anak-anak dan dua orang yang sudah cacat karena kusta.

“Di Bungur, pengidap kusta yang masih menjali proses perawatan (minum obat secara rutin) dan temuan kasus baru, sekitar 10 orang,” ujar Fitri.

Diakui Fitri, tenaga medis untuk menangani masalah kusta di Meranti masih sangat kurang. Bahkan, Fitri mengungkapkan, hanya ada satu orang petugas puskesmas di seluruh kawasan Meranti yang mempunyai kompetensi dalam penanganan kusta.

“Tahun depan kami akan melakukan pelatihan kepada petugas kesehatan mengenai pengelolaan program kusta,” imbuh Fitri.

Kendala lain yang dihadapi oleh pihak Diskes Meranti adalah kondisi geografis wilayahnya. Di Bungur misalnya. Wilayah ini cukup sulit dijangkau. Meskipun demikian, pihaknya tetap melakukan berbagai kegiatan dalam pengelolaan program kusta. Dalam satu tahun, pihak Diskes Meranti melakukan survei ke lapangan sebanyak dua kali.

Selain itu, pihaknya juga melakukan berbagai penyuluhan terkait ancaman kusta. Hasilnya cukup menggembirakan. Menurutnya, sudah banyak warga masyarakat yang benar-benar mengerti apa itu kusta dan cara penularannya.

Semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai kusta, diharapkan, penyebaran penyakit ini akan semakin bisa ditekan atau bahkan hingga hilang sama sekali. Fitri pun menegaskan, kusta bukanlah penyakit keturunan, kutukan, karma, ataupun guna-guna. Kusta bisa sembuh dengan pengobatan secara teratur.

Penularan kusta juga tidak mudah. Seseorang tertular kusta, biasanya setelah yang bersangkutan melakukan kontak berat secara terus menerus dengan penderita. Itupun, risikonya hanya 5 persen hingga 10 persen.

Kusisipkan Namamu Dalam Doaku

July 3, 2011

Dengarlah kasih, lantun doa untukmu

Setulus orangtua menimang si bungsu

Seperti malaikat tak pernah lalai

Laksana angin berhembus sepoi

Bagaikan langit setia memayungi

Bak akar yang tak pernah mau menampakan diri

 

Walau sumbang terdengar

Maklumlah aku jarang mengucap doa

Tapi rasanya harus kusenandungakan

Karena itu satu-satunya yang bisa kupersembahkan

Saat kesunyian erat mendekapmu

Ingin aku menemanimu selalu

Berharap untuk sejenak menghiburmu

 

Ketika langkah tak menuju arah tujuan

Sewaktu angan tidak lagi sejalan dengan kenyataan

Bilamana yang diharap tak terwujudkan

Yakinlah ada untukmu seorang teman

Percayalah kau tak pernah menghadapinya sendirian

 

Jangan biarkan harapan itu padam

Walau ada duka mengoyak perasaan

Usah hancurkan hari depan karena kenangan

Luka akan sembuh pada waktunya

Badai gelombang tidak selamanya Saat indah itu pasti datang

Dan aku kan pergi dengan tenang

Tuhan, Aku Cemburu

July 2, 2011
Matahari kemerahan menuruni kaki langit. Sisa kahangatannya menyapu permukaan air laut yang tampak pula berganti warna. Mega-mega perlahan berubah gelap. Laksana domba di padang pasir, ia bergerak perlahan mengikuti angin yang menerbangkannya.
Debur ombak terpecah ketika menghantam karang. Pun demikian dengan semilir angin yang membuat pucuk kelapa terlihat menari. Angin itu pula yang membuat rambut panjang Nadia berkibar tak beraturan. Namun karenanya, gadis duapuluh lima tahun tersebut semakin tampak menawan. Angin yang terkadang membawa pasir, membuat gadis berkulit putih ini menutup mata. Saat itu betapa bulu matanya yang lentik terlihat menyempurnakan wajahnya. Dibalut pakaian serta rok panjang warna hitam, ia berdiri mengahadang angin. Jemari lembutnya memegang sebuah telepon genggam. Sesekali, matanya melihat ke layar telepon, bibirnya tersenyum, dan jemari lentiknya lincah mengitik di keypad.
Rona wajahnya kadang bersemu merah, dan tidak jarang pula, bibirnya terlihat cemberut, walaupun sinar matanya tidak bisa berbohong, betapa saat itu ia hatinya tengah berbunga. Tiba-tiba telepon di tangannya berdiring.
Sepertinya ia ragu untuk menjawab telepon itu. Beberapa saat kemudian, telepon itu pun mati. Muncul raut wajah menyesal. Namun kembali telepon itu berdering, tanpa pikir panjang, ia mengangkatnya. “Aku di pantai. Di tempat biasa. Aku tunggu kamu di sini,” tanpa menunggu jawaban Nadia menutup telepon, dan tersenyum puas.
Sekitar 20 menit kemudian, dari balik gundukan pasir, berjalan seorang pria mengenakan jaket jeans. Celana panjang hitamnya sudah robek di sana sini. Sandal jepit, tas kusam serta sarung tangan kelam menempel jadi asesoris di tubuhnya.
Sambil menyalakan sebatang rokok, mata tajam pria itu terus memandang Nadia yang tidak mengetahui kedatangannya. Langkah kakinya terhenti, seperti ragu untuk berjalan lebih dekat lagi. Namun hal itu tidak berlangsung lama, Nadia membalikkan wajahnya.
Kedua mata itu saling beradu pandang. Mereka hanya saling pandang untuk beberapa lama, tanpa ada suara dan usaha untuk mendahului menyapa. Beberapa saat, mereka berdua terlihat laksana patung. Hanya desah nafas dan tatapan mata berbinar. Setelah beberapa lama, sang pria berjalan mendekat.
Langkah kakinya terlihat berat dan ragu. Tidak seperti ketika ia muncul dari bukit pasir. “Apa kabarmu Nad?” Tanyanya.
“Aku baik-baik saja. Sudah hampir empat tahun tak bertemu. Kau masih sama. Bagaimana denganmu Bim?”
“Sama sepertimu Nad. Empat tahun ini aku memang tidak pernah berkunjung ke kota kesini,”
Pria bernama Bima itu lantas duduk di samping Nadia. Keduanya tampak kaku, banyak yang ingin mereka ungkapkan dan tanyakan. Namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut mereka.
Hampir setengah jam, Bima dan Nadia diam seribu bahasa. Hanya terkadang kedua mata mereka saling bertemu ketika sama-sama mencuri pandang.
“Nad,”
“Bim,” Bersamaan.
Mereka kemudian saling tertawa lepas. “Ada apa kamu memintaku untuk ke sini Nad?”
Gadis ayu ini tidak segera menjawab pertanyaan Bima. Ia menghela nafas panjang. Matanya kosong menatap pantai. Mata bening itu, perlahan-lahan memerah. Bima yang mengetahui kejadian itu segera berucap.
“Lebih baik aku pergi saja Nad. Aku salah telah memberitahumu tentang kunjunganku ke kota ini,” Bima berdiri hendak melangkah pergi.
Tiba-tiba secara reflek, tangan Nadia memegang lengannya, dan seolah tak ingin ia beranjak dari situ. “Duduklah Bim. Banyak hal yang ingin aku ceritakan padamu,” pinta Nadia.
Bima pun kembali duduk di samping Nadia. Rokok yang semula sudah masuk ke saku jaket pun dikeluarkan lagi. Namun belum sempat ia menyalakan rokoknya, tangan Nadia sudah lebih dulu merampas rokok yang sudah menempel di bibir Bima.
“Itu yang kusuka sekaligus kubenci darimu. Tapi baiklah,” kata Bima sambil tertawa dan memasukan rokok serta koreknya ke dalam saku jaket.
“Apa yang hendak kau bicarakan Nad? Besok pagi aku pulang ke Jakarta,”
“Kita bicara di sana saja,” ajak Nadia kepada Bima untuk mendekati bibir pantai. Tanpa menunggu jawaban, Nadia menarik tangan Bima.
Mau tak mau, Bima mengikuti. Keduanya lantas berjalan ke arah barat. Seolah ingin mengejar matahari yang sebentar lagi hilang ditelan lautan. Nadia seolah tidak merasakan gelombang yang menjilat kakinya hingga lutut. Demikian juga Bima, ia hanya menggandeng tangan gadis tersebut seolah tak mengetahui bahwa mereka sudah jauh melangkah dari tempat semula.
Cukup lama berjalan, seolah ada yang memerintahkan, mereka berhenti di depan sebuah batu karang hitam. Beberapa kejapan mata, keduanya lantas tersenyum bersamaan.
“Kamu ingat apa yang terjadi di sini beberapa tahun lalu?” Nadia membuka pertanyaan.
“Kamu menolakku untuk pertama kalinya. Tapi di tempat ini pula kau mau menerimaku. Dan di tempat ini pula kita memutuskan untuk berpisah,” sahut Bima. “Untuk apa kau mengajaku ke tempat ini Nad?”
“Mengulang masa lalu Bim. Tidak ada yang lebih indah dari tempat ini. Aku terpuruk, bangkit dan kembali terpuruk di tempat ini,”
“Lupakan itu Nad. Itu sudah jadi masa lalu kita. Bukankah kau yang memutuskan kita untuk berpisah? Sudahlah, mari kita pulang,” ajak Bima.
Nadia seolah tak mendengarkan ajakan Bima. Ia lantas melangkah menjauh dari bibir pantai. Di atas hamparan pasir putih, di bawah siraman cahaya emas matahari, gadis ayu ini kemudian terduduk lesu.
Ia menekuk kakinya, meletakan dagu di atas lutut sementara kedua tangannya memeluk kaki yang terbungkus rok panjang yang basah karena air laut. Bima kemudian melepaskan jaketnya dan menyelimutkannya pada Nadia. Ia lantas duduk bersila di sebalah kanan Nadia dan menggunakan tangan kanannya untuk merengkuh tubuh sang dara.
“Aku baik-baik saja Bim. Kau pulanglah dulu. Bukankah kau butuh istirahat?”
“Kau tak pernah baik-baik saja. Paling tidak selama aku bersamamu sore ini. Aku tahu apa yang kau inginkan Nad. Tapi….”
“Kenapa harus ada tapi? Bukankah kaupun masih sama seperti dulu?”
“Iya Nad. Bahkan yang aku rasakan jauh lebih dari itu. Tapi ini bukan sekadar permasalahan rasa. Kamu tahu itu,” Bibir Nadia tampak bergetar.
Matanya yang bening melirik ke arah Bima, terlihat mulai memerah. Perlahan-lahan, air mata menetes perlahan jatuh ke sudut pipinya. Sadar akan hal tersebut, Bima pura-pura tidak melihatnya. Walaupun sebenarnya, ia sangat ingin mengusap air mata itu. Isak tertahan Nadia terdengar perlahan.
Bima tetap seakan tak mendengarnya. Ia hanya memeluk tubuh mungil Nadia lebih dalam hingga kepala yang ditumbuhi rambut lebat tersebut tersandar di bahunya.
“Maaf Nad, aku tidak membawa tissu. Menangislahh jika itu bisa membuat hatimu lega,”
“Ternyata kau tak lebih dari seorang penakut Bim. Apakah kau sengaja membalas apa yang kulakukan terhadapmu beberapa tahun lalu?”
“Sama sekali tidak. Kita memang harus membayar perbuatan baik ataupun buruk yang diberikan kepada kita. Tapi bukan berarti kita harus membalasnya pada orang yang telah memperlakukan kita dengan baik ataupun buruk,”
“Lantas mengapa kau perlakukan aku seperti ini? Kau mengembalikan kesakitanmu atas perbuatanku lengkap dengan bunganya,”
“Aku masih menyayangimu. Selalu. Tapi bukan berarti kita harus bersama. Dalam kehidupanmu, banyak yang lebih baik dariku. Cari dan temukan itu,”
“Itu menurutmu Bim. Tapi tidak bagiku,” Bima menyerah.
Jujur di hatinya, ia memang masih sangat menyayangi Nadia. Gadis yang empat tahun lalu meninggalkannya. Melihat kesungguhan dalam tatap mata Nadia, hatinya pun luluh.
“Lantas bagaimana jika jawaban ayahmu masih sama dengan yang dulu Nad?”
“Aku akan ikut kamu ke Jakarta besok pagi. Semua keperluan sudah aku siapkan,”
“Tidak Nad. Sama seperti dulu. Aku akan meminta baik-baik dirimu kepada keluargamu,”
“Sepertinya jawaban papa akah tetap sama Bim,”
“Aku belum mencobanya. Jadi bagaimana mungkin aku tahu apa jawaban ayahmu,”
“Benar kamu akan datang kerumahku?”
“Ya, bersama orangtuaku tentunya. Semoga mereka mau, dan….,” Ucapan Bima terputus ketika tiba-tiba bibir Nadia sudah menempel di bibirnya.
Kedua insan tersebut cukup lama berpagut dan baru berhenti setelah nafas keduanya tampak terengah-engah.
“Ada waktunya kita melanjutkan ini Nad,” Namun setelah berkata itu, giliran Bima yang mencium kening Nadia hingga tampak muka gadis itu memerah.
Bima memeluk dalam-dalam Nadia hingga tak terasa matahari sudah benar-benar tengelam di telan samudera. “Kita pulang Nad. Hari sudah malam. Dan malam ini, katakan kepada ayahmu, seminggu kedepan aku akan mengunjunginya,”
“Aku antar kamu ke hotel Bim,”
“Ada baiknya kita makan malam dahulu,” Nadia mengangguk. Keduanya beranjak pergi meninggalkan pantai yang sudah menjadi gelap. Malam itu, seolah menjadi malam tak berujung bagi Bima dan Nadia. Keduanya bercanda, tertawa lepas di tempat makan pinggir jalan hingga semua pembeli lain memperhatikan mereka berdua.
“Biarkan saja Nad, mereka iri melihat kita,” kata Bima yang kemudian disusul tawa renyah mereka berdua. Mereka terus mengumbar kemesraan di tengah keramaian.
Kadang Bima menunjukkan kegilaannya mencuri waktu dan mencium pipi Nadia seperti mencium gadis kecil. Walaupun tampak menunjukan kemarahan, namun Nadia sangat bahagia dengan perlakuan itu. Sebuah pengalaman yang tidak penah didapatkannya dari pria lain.
“Sudah jam 10 Nad. Aku harus tidur cepat malam ini. Besok aku pulang dengan pesawat jam 6 pagi,”
“Baiklah. Aku antar kamu ke hotel ya,” Setelah membayar, mereka pun bergegas ke hotel tempat Bima menginap. Sampai di parkiran hotel, Bima mencium bibir Nadia sebagai tanda perpisahan.
“Aku tidur dulu ya Nad,” kata Bima setelah melepaskan ciumnya.
Ia lantas keluar dari mobil. Belum sempat Bima menutup pintu mobil, suara Nadia terdengar lirih memanggilnya.
“Ada apa Nad?”
“Kamu tidak ingin mengjak aku ke kamarmu?”
“Sebaiknya kamu pulang saja sekarang hingga kamu bisa menemui papa kamu dan mengatakan rencana kedatanganku minggu depan. Masih banyak waktu untuk kita habiskan,”
“Tapi kamu tidak bohong kan?” Desak Nadia dengan nada khawatir.
“Adakah kau melihat kebohongan itu? Percayalah. Karena aku juga menginginkan itu,” Bima menutup pintu mobil dan melangkah meninggalkan Nadia tanpa menoleh lagi.
Sang dara terus memandang punggung kekasihnya hingga hilang. Dengan hati berbunga ia lantas meninggalkan areal parkir hotel. Ia memacu kendaraannya agar bisa segera bertemu orangtuanya. Namun Nadia harus kecewa, karena ketika ia sampai di rumah, waktu sudah pukul 11 malam. Papa dan mamanya sudah terlelap.
Setelah membersihkan muka dan berganti baju, Nadia baru ingat kalau tidak ada yang mengantarkan Bima ke bandara esok hari. Ia langsung menyambar ponselnya. Lagi-lagi ia harus kecewa karena panggilannya tidak dijawab Bima.
Saat hendak terlelap, tiba-tiba ponsel Nadia bergetar menandakan ada sms yang masuk. “Ada apa Nad? Kok belum tidur?” Demikian isi sms Bima.
Tanpa pikir panjang, Nadia langsung menelepon Bima. “Besok aku antarkan kamu ke Bandara ya Bim,”
“Tak usah Nad. Aku pakai taxi saja. Kamu tidur saja sekarang,” pinta Bima.
“Baiklah Bim. Kamu hati-hati ya. Aku tunggu kamu minggu depan,” Nadia menutup teleponnya.
Ia mencoba terlelap. Tapi matanya tetap tidak mau terpejam. Gadis ini memandang sekeliling kamarnya. Memeluk erat guling, memutar lagu, namun tetap saja kantuk tidak datang. Nadia lantas mengambil ponselnya. Tadinya ia hendak menelepon Bima kembali.
Namum saat ia mengetahui bahwa saat itu sudah pukul 2 dini hari, Nadia mengurungkan niatnya. Karena tidak mau mengganggu istirahat Bima. Akhirnya Nadia hanya mengirimkan pesan singkat kepada kekasihnya.
“Sayang, aku belum ketemu papa. Tapi ini hidupku. Aku yang akan menjalaninya. Bukan mereka. Sayang, apapun yang terjadi esok, kau harus ingat bahwa ada seorang gadis di seberang lautan yang selalu menunggu kedatanganmu. I love you,”
Akhirnya Nadia bisa tertidur saat hari menjelang pagi. Belum seberapa lama tidur, pintu kamar Nadia diketuk mamanya. Hari sudah pukul 7. Sang ibu meminta Nadia untuk segera mandi dan sarapan pagi bersama seperti biasa.
“Ini saat yang tepat untuk menyampaikan rencana kedatang Bima,” pikir Nadia.
Dengan mata yang masih berat  terbuka, Nadia memaksakan diri untuk mandi. Seusai mandi, ia langsung menuju meja makan. Di sana telah menunggu kedua orangtuanya serta seorang adik perempuannya.
“Semalam kamu kemana?” Tanya ayah Nadia.
“Jalan-jalan pap,”
“Sepertinya kamu bahagia sekali Nad, ada apa? Dapat pacar baru ya?” Goda sang mama. “Nanti sehabis sarapan, ceritakan pada mama,” sang mama menyambung.
“Memang ada yang ingin Nadia katakan kepada mama dan papa,”
“Tentang apa?” Desak bundanya. “Tentang Bima,”
Raut wajah sang ayah sontak berubah merah mendengar nama Bima. Hampir saja nasi yang sudah dikunyahnya dimuntahkan.
“Maksudmu? Jangan kau buat selera makan papa hilang dengan membicarakan dia di sini. Mau apa anak itu? Kenapa kamu masih berhubungan dengan anak yang tak jelas juntrungannya itu?”
Nadia sudah memperkirakan apa yang akan terjadi jika ia membicarakan persoalan Bima. Namun ia harus menyampaikan kepada ayah ibunya.
“Ia berniat ke sini bersama orangtuanya minggu depan,” semuanya terdiam mendengar kata-kata Nadia. Wajah ayah Nadia menjadi semakin merah. Demikian juga dengan wajah sang ibu.
“Kamu masih berani menemuinya?” Bentak ayah Nadia.
“Ya, Nadia sayang dia,” jawab Nadia sambil menundukan wajahnya. Tangannya mengaduk-ngaduk nasi di piring di hadapannya menggunakan sendok yang dipegangnya.
“Hilang selera makanku,” kata sang ayah sambil membantik sendok ke atas piring. Dan meninggalkan nasi yang belum setengah dimakannya. Sang ayah lantas pergi ke ruang tamu dan menghidupkan televisi. Melihat Nadia yang tampak sangat terpukul dengan kejadian itu. Sang mama berusaha untuk menenangkan.
“Sudahlah Nad. Kamu bisa membicarakan itu lain waktu,”
“Tidak bisa ma. Kalau mama dan papa tetap bersikukuh, Nadia juga bisa berlaku nekad,” jawab Nadia dengan keras sambil berdiri. Mendengar yang dikatakan Nadia, sang ayah malah membesarkan volume televisi.
Saat itu, di siaran televisi dengan volume tinggi, sedang menayangkan breaking news tentang kecelakaan pesawat yang jatuh di perairan Laut Jawa. Sontak Nadia langsung berlari ke ruang tamu. Dari berita itu, Nadia memastikan pesawat yang jatuh adalah pesawat yang ditumpangi Bima.
Namun ia belum sepenuhnya percaya dengan berita itu. Ia berteriak sejadi-jadinya yang tentu saja membuat ayahnya terkejut.
“Bima… Bima di pesawat itu,” Nadia berlari menuju kamarnya. Ia mengambil ponsel, berusaha menghubungi Bima. Niatnya untuk menelepon Bima diurungkannya karena di layar telepon, ia melihat ada sms yang belum sempat dibukanya.
Dengan tangan gemetar, ia memencet tombol untuk membava sms tersebut. Benar dugaannya, sms itu adalah sms Bima yang belum sempat dibacanya. Sms tersebut di kirimkan Bima pada pukul 5.30 pagi saat ia sudah ada di bandara.
“Aku sudah di Bandara. Tak sabar rasanya segera sampai rumah. Oia, kalau aku bisa bertemu Tuhan, aku akan bilang kalau kamu adalah wanita yang layak berbahagia dengan siapapun pendampingmu. Aku mencintai selalu. Bahkan ketika di syurga nanti, aku akan mencarimu,”
Jerit Nadia kembali terdengar. Tak lama berselang, orangtuanya menyusul Nadia di dalam kamar.Nadia tampak seperti orang kesurupan. Ia melemparkan telepon kepada ayahnya.
“Sadar nak, apa yang terjadi?”
“Bima ma, Bima mati,” itulah kata terakhir Nadia sebelum akhirnya ia roboh dan pingsan.
Tidak tahu berapa lama ia pingsan, ketika pingsan, ia melihat mamanya berada di sisinya. Ia melihat mata orang melahirkannya tersebut tampak merah seperti habis menangis.
“Mama menangis? Bima ma..”
“Mama tahu apa yang kamu rasakan Nad. Tapi dia sudah pergi. Lebih baik, sekarang kamu istirahat. Dan kalau kamu merasa sehat, mama dan papa mengijinkanmu untuk berangkat ke Jakarta menemui keluarganya. Papa dan mama minta maaf padamu. Kami merasa bersalah dalam hal ini,”
“Makasih ma,”
Nadia terus mengikuti perkembangan jatuhnya pesawat yang ditumpangi Bima. Ia terus berharap agar Bima selamat dalam peristiwa tersebut walaupun banyak orang yang mengatakan, kemungkinan itu sangat kecil.
Bahkan setelah seminggu berlalu, tidak ada satupun penumpang pesawat yang berhasil dievakuasi. Pun demikian dengan bangkai pesawatnya. Karena tak kunjung ada kabar tentang nasib Bima, Nadia juga menunda keberangkatannya ke Jakarta.
Yang bisa dilakukannya saat ini hanya melantunkan doa semoga kekasihnya diberikan yang terbaik. Ia sudah pasrah. Tepat satu bulan setelah pertemuannya dengan Bima. Nadia memberanikan diri mengunjungi tempat yang mereka kunjungi bersama.
Sore itu, waktu yang hampir sama dengan satu bulan lalu, Nadia berjalan sendiri melalui pantai. Di depan batu karang yang sama, ia duduk memandang laut lepas. Belum lekang dalam ingatannya ketika satu bulan lalu Bima ada di sampingnya. Memeluknya dengan erat.
“Bim, kamu orang baik. Paling tidak terhadapku. Aku berharap kau masih hidup sekarang ini. Namun jika kau sudah tiada, aku yakin malaikat akan membawamu ke syurga. Bim, aku yakin kamu tahu, dalam doaku aku tak pernah meminta pada Tuhan agar kau ditemani bidadari yang menurut orang merupakan mahluk paling cantik. Aku ingin bidadari itu aku Bim. Aku tidak rela jika ada bidadari menemanimu. Aku Cemburu,”