Tan Cuan Sei (70), Thian Sin (67), dan Ong Siu Lan (66), adalah tiga sekawan senasib seperjuangan. Mereka adalah penghuni terakhir kamp pengasingan bagi penderita kusta di hulu Sungai Bokor, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Meranti.
SYAHDAN perkampungan kusta yang kini sudah kosong itu terbentuk kala zaman penjajahan Jepang. Ketika itu di kawasan Tebingtinggi, Selatpanjang banyak warga ditemukan menderita penyakit kusta dan oleh Jepang dan mereka diasingkan karena dianggap aib bagi keluarga.
Sejak itu, setiap ditemukan penderita kusta, selalu dikirim ke kamp pengasingan ini. Sebagian besar dari penghuni kamp ini adalah warga keturunan Tionghoa. Dulunya, mereka tinggal di gubug-gubug kayu. Namun sekitar empat tahun belakangan, mereka mendiami sebuah rumah permanen. Rumah ini layaknya sebuah asrama dengan banyak kamar.
Tapi kini, kamp pengasingan itu telah kosong. Tan Cuan Sei, Thian Sin, dan Ong Siu Lan, adalah penghuni terakhir kamp tersebut. Tiga sejawat yang telah renta ini, sejak 11 Agustus 2011 tinggal di sebuah panti di Kelurahan Kampung Baru, Tebingtinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti.
Pertengahan Desember lalu, Tribun, berkesempatan bertatap muka langsung dengan ketiga penghuni terakhir kampung kusta itu. Diperhatikan secara sekilas, tidak ada sedikitpun perbedaan tiga orang tersebut dengan orang yang sudah berusia lanjut.
Rambut sudah memutih, kulit keriput, dan ketika tersenyum atau berbicara, tampak gigi yang sudah tidak utuh. Namun jika diperhatikan lebih seksama, barulah terlihat perbedaan mencolok dibanding orang normal lainnya. Ketiga orang ini menyimpan cerita sangat mengejutkan.
Duduk paling dekat dengan pintu adalah Tan Cuan Sei. Meski telah rikuh, sisa-sisa kekekaran tubuhnya masih terlihat. Tingginya sekitar 165 cm. Bertelanjang dada, mengenakan celana pendek hijau, ia memulai kisahnya. Menurutnya, ia mulai memiliki tanda-tanda terkena kusta sejak ia berusia sekitar 10 tahun. Saat itu, singkatnya di bagian muka sebelah kiri, tepatnya di atas bibirnya, terdapat bercak merah.
Sontak, melihat tanda-tanda itu, orangtua dan anggota keluarg Cuan Sei lainnya, menyangka ia terkena kusta. Sejak saat itulah, hidupnya berubah total. Anggota keluarganya mulai menjaga jarak dengannya. Demikian pula dengan teman-temannya di bangku sekolah Tionghoa. Dirasakan Cuan Sei, mereka mulai mengucilkannya.
Seiring perjalanan waktu, bercak merah di wajahnya tidak juga hilang. Dugaan ia terkena kusta pun semakin santer. Hal itu kian menyiksanya. Pada akhirnyan Cuan Sei keluar dari sekolah. Saat itu, ia mengaku sudah belajar hingga kelas 8 sekolah Tionghoa.
Meskipun sempat bersekolah, namun Cuan Sei tidak lancar berbahasa Indonesia. Dibantu seorang penerjemah, Bakhtiar, Tribun, menyimak kisah Cuan Sei. Karena tak kunjung sembuh, lanjut Cuan Sei, meskipun sudah berusaha diobati ala kadarnya, menjadikan Cuan Sei semakin terpukul. Ia mulai mengucilkan dirinya. Sehari-hari, ia hanya mengurung diri di kamar. Praktis, ia keluar dari kamar, hanya untuk makan, mandi dan sedikit kebutuhan mendesak lainnya.
Lama kelamaan, Cuan Sei pun semakin tertekan. Kian hari, ia semakin dikucilkan. Ia merasa sendiri. Tak tahan lagi, dengan sukarela, ia meminta kepada anggota keluarga untuk mengantarkannya ke Bokor. Tidak beberapa lama setelah menyampaikan keinginannya, ia diantarkan keluarganya untuk memulai pengasingannya.
“Saya masih ingat betul. Saya diantarkan ke Bokor tanggal 10 Desember 1960,” kata Bakhtiar menerjemahkan kenangan Cuan Sei.
Kali pertama menginjakkan kaki di Bokor, menurut ceritanya, di tempat itu sudah diisi oleh puluhan orang pengidap kusta. Pada tahun itu, menurutnya, mereka tinggal di gubug-gubug yang terbuat dari kayu. Cuan Sei menuturkan, ia mengetahui benar-benar terkena kusta, justru setelah di Bokor. Pasalnya, seiring berjalannya waktu, ruas jari kedua tangan dan kaki kanannya berkurang satu persatu. Ketika Tribun menemuinya, Cuan Sei bahkan sudah tidak bisa lagi mengangkat kedua belah tangannya tegak lurus kedepan.
Selain jemari tangan dan kakinya yang tidak utuh, kakek yang tidak menikah seumur hidupnya ini juga mempunyai masalah baru. Ia juga menderita katarak. Penyakit ini mengakibatkan pandangan matanya menjadi kabur.
Tidak ketika hidup saja penderita kusta di Kampung Bokor dikucilkan. Saat meninggalkan pun, jenazah mereka dikubur ‘ala kadarnya’ tanpa nisan sebagai penanda.
TAN Cuan Sei (70) yang telah bercerita panjang lebar tentang bagaimana sejarah awal kedatangannya ke kamp pengasingan bagi penderita kusta di hulu Sungai Bokor, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Kabupaten Kepulauan Meranti, memang penghuni terakhir kamp paling tua. Namun ia bukanlah penghuni terlama.
Thian Sin (67), yang duduk disebelah Cuan Sei saat diwawancarai, ternyata lebih senior dibanding dirinya bergabung di Kampung Kusta Bokor. Menurut Thian Sin yang berperawakan sedang, ia datang beberapa minggu sebelum Cuan Sei tiba di Bokor.
Total 51 tahun Thian Sin menjadi penghuni Kampung Kusta Bokor, sebelum akhirnya tinggal di sebuah panti di Kelurahan Kampung Baru, Tebingtinggi, Meranti, sejak 11 Agustus 2011 lalu.
Thian Sin juga menyimpan cerita memilukan selama setengah abad tinggal dipengasingan.
Ketika saya bertemu dia, pertengahan Desember lalu, Thian Sin mengaku sudah menjadi penghuni Bokor sejak usia 16 tahun. Tidak berbeda jauh dengan Cuan Sei, ia juga tidak fasih berbahasa Indonesia. Gigi bagian depannya yang sudah tak lengkap, membuat apa yang diucapkan Thian Sin membutuhkan pendengaran ekstra.
Berbeda dengan Cuan Sei yang secara sukarela menetap di Bokor, Thian Sin mengaku mendapat perlakuan diskriminatif dari masyarakat tempat tinggalnya di Selatpanjang.
Hampir serupa dengan kisah Cuan Sei, Thian Sin disangka menderita penyakit menular itu pada usia sekitar10 tahun. Saat itu, ada bercak-bercak merah di kulit mukanya. Tepatnya di sekitar hidungnya.
Disangkakan menderita kusta, ia pun mendapat perlakuan diskriminatif dari teman-teman sebayanya.Perlakuan tersebut akhirnya memaksa Thian Sin meninggalkan sekolahnya. Menurutnya, ia meninggalkan bangku sekolah ketika masih kelas 4 sekolah Tionghoa.
Thian Sin mengungkapkan, awalnya, anggota keluarganya tidak begitu mempersoalkan bercak merah di hidung Thian Sin. Ia pun masih diperlakukan sama dengan anggota keluarga lainnya.
Petaka terjadi ketika rumah orangtuanya habis terbakar. Kejadian itu memaksa seluruh keluarga Thian Sin pindah ke daerah lain, meski masih di wilayah Selatpanjang.
Di tempat tinggal barunya inilah, ia mulai mendapat masalah. Warga di sekitar tempat tinggalnya tidak bisa menerima kehadiran Thian Sin. Tidak kuat menahan tekanan, akhirnya ia pun dikirim ke Bokor.
“Menurut cerita yang saya dengar, ketika itu (generasi pertama orang-orang kusta yang dibuang ke Bokor) ada sekitar 30 orang. Semuanya berasal dari daerah yang kini masuk Kabupaten Kepulauan Meranti dan Kabupaten Bengkalis,” kata Thian Sin.
Selama 51 tahun hidup bersama penderita kusta, bercak merah di wajahnya
sama sekali tidak bertambah. Hanya saja, menurut Thian Sin, hidungnya jadi sedikit lebih pesek dibandingkan sebelumnya.
Jika diperhatikan lebih seksama, hidung Thian Sin memang tampak berbeda dengan hidung manusia normal kebanyakan. Demikian juga dengan jarak antara bibir dan hidungnya yang tampak tidak proporsional.
Thian Sin menambahkan, menjadi penghuni Bokor lebih dari lima dasawarsa, ia menjumpai puluhan orang. Namun jumlahnya hanya berkisar 20 orang hingga 30 orang saja. Pasalnya jumlah pendatang baru diimbangi dengan jumlah pengidap kusta yang meninggal.
Menurut penuturannya, apabila ada orang yang meninggal di Bokor, pengidap kusta saling bahu membahu menguburkan jenazah. Keterbatasan membuat mereka menguburkan jenazah rekannya dengan ala kadarnya.
Tidak ada pemuka agama yang memimpin doa. Bahkan, mereka pun tidak memberikan batu nisan ataupun tanda lain yang mengisyaratkan kalau di situ ada sebuah makam. Areal pemakaman juga hanya berada di sekitar areal rumah mereka.
Walaupun 51 tahun hidup di Bokor, Thian Sin tidak mengetahui angka pasti berapa jumlah pengidap kusta yang meninggal di tempat itu. “Makamnya juga ala kadarnya,” ucapnya.
Kejadian yang merenggut kehidupan Ong Siu Lan (66), 43 tahun lalu tetap abadi dalam ingatannya. Meski telah sepuh, memorinya masih kuat mengingat kekejaman sang suami dan mertua.
ONG Siu Lan adalah satu-satunya perempuan dari tiga penghuni terakhir Kampung Kusta Bokor yang tersisa. Termuda dari ketiga penghuni kamp pengasingan bagi penderita kusta di hulu Sungai Bokor, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Meranti, Siu Lan mengaku jika ia paling sebentar mendiami kamp.
“Hanya selama 43 tahun,” ujarnya singkat, ketika ditemui pertengahan Desember 2011 di sebuah panti yang kini menjadi tempat tinggalnya di Tebingtinggi, Meranti, setelah meninggalkan kamp pengasingan Agustus 2011.
Kisah pilu pun tak jauh dari kehidupan Siu Lan, hingga akhirnya berlabuh di kamp pengasingan.
Ia disangka mengidap kusta saat usia pernikahannya baru enam bulan. Ketika itu, mertuanya melihat ada bercak-bercak merah di lengannya.
Kecurigaan keluarga suaminya semakin menjadi karena bercak merah tersebut tidak segera hilang. Tidak lama berselang, ia akhirnya dipaksa untuk meninggalkan rumah menuju Bokor.Untuk membuat Siu Lan mau “diungsikan” ke Bokor, suami dan mertuanya mengancam akan melaporkan dirinya ke petugas pemerintah. Mendengar ancaman itu, tentu saja Siu Lan jadi semakin tertekan dan takut.
Sebenarnya, kisah Siu Lan, ia menolak ketika hendak diantarkan ke Bokor. Namun ia tak kuasa, setelah mertua lelaki, suami dan seorang tetangga memaksanya.
“Saya sempat melompat dari perahu, tapi diseret kembali untuk naik,” kata Siu Lan yang kehilangan ibu jari tangan kanannya karena kusta ini.
Ia juga menyimpan cerita memilukan. Dua tahun hidup di Bokor, stok pakaian yang ia gunakan sehari-hari mulai menipis. Karena tidak mungkin meminta kepada penghuni Kampung Kusta Bokor lainnya, akhirnya ia memutuskan pulang ke rumah mertuanya.Tidak tanggung-tanggung, ia pulang ke rumah mertuanya yang juga berada di Pulau Rangsang dengan berjalan kaki. Bersama seorang rekannya yang juga berasal dari daerah tempat tinggal mertuanya, Siu Lan berjalan selama sehari semalam.
“Dari Bokor ke rumah mertua saya, harus berjalan kaki masuk keluar hutan,” cerita Siu Lan.
Sesampainya di rumah mertuanya, bukannya mendapatkan pakaian, ia malah kembali diperlakukan tidak menyenangkan. Siu Lan kembali di usir.
“Akhirnya saya kembali ke Bokor. Mau kemana lagi selain ke sana,” katanya.
Ia menerangkan, jumlah wanita pengidap kusta di Bokor tidak begitu banyak. Seingatnya selama 43 tahun menghuni Bokor, hanya ada empat atau lima orang wanita saja yang menghuni Bokor.
“Namun tidak ada anak-anak yang diasingkan ke Bokor,” imbuhnya.
Rumpun bambu
Potret miris kelompok yang terlupakan ini, makin memilukan hati ketika mereka bercerita bagaimana cara bertahan hidup. Tan Cuan Sei, Thian Sin, Ong Siu Lan dan sejawat mereka yang telah meninggal, mengandalkan kerajinan tangan dari bambu untuk memenuhi kehidupan hidup sehari-hari.
Menurut Cuan, di daerah sekitar tempat tinggalnya, banyak ditemukan rumpun bambu.
Rumpun bambu tersebut, tidak tumbuh dengan sendirinya. Melainkan ditanam oleh generasi penghuni Bokor sebelum mereka. Sadar akan kebutuhan mereka akan rumpun bambu, selain menebang, mereka juga menanamnya.
Dalam satu minggu, penghuni kamp tersebut biasanya memproduksi sepuluh buah anyaman bambu. Sayang, ketika berkunjung ke rumah tinggal mereka, seluruh kerajinan tersebut sudah habis terjual.
Saat masih di Bokor, ketika kerajinan anyaman bambu sudah siap dipasarkan, Tan Cuan Sei dan Thian Sin lah yang diserahi tugas menjualnya. Hasil karya mereka, di jual di tanah kelahiran mereka, Selatpanjang.
Untuk menjual hasil karya mereka ke Selatpanjang, butuh perjuangan ekstra. Keduanya harus menggunakan sampan. Dengan kusta yang dideritanya, Tan Cuan Sei dan Thian Sin mendayung sampan selama 3 jam hingga 4 jam.
Di Selatpanjang sudah ada seorang yang siap membeli karya mereka. Namun harganya tidak bisa dipatok. Pasalnya, menurut keterangan keduanya, sang pembeli tetap membeli karya mereka dengan alasan kemanusiaan.
“Tidak jarang kami dibayar berkalilipat dari harga sebenarnya,” ucap Cuan Sei.
Ada cerita menarik mengenai pembeli benda kerajinan anyaman bambu mereka. Menurut penuturan Cuan Sei, ia sudah menjual hasil anyaman sejak puluhan tahun lalu. Bahkan saat ini, si pembeli tetap itu merupakan generasi ketiga.
“Dulu yang membeli kakeknya dan sekarang cucunya yang selalu membeli barang dagangan kami. Namanya Bi Han Ning,” kata Cuan Sei.
Cuan Sei menambahkan, ketika berada di Selatpanjang untuk menjual kerajinan tangan, awalnya ia sering mampir ke rumah orangtuanya. Sekadar ingin mengobati rindu, beristirahat ataupun melepas lapar dan dahaga. Namun menurutnya, keluarganya sudah benar-benar menutup pintu untuk Cuan Sei. Saat bertandang, katanya, ia memang disuguhi minum atau makanan. Tapi, minuman dan makanan itu diletakkan di depan pintu.
Suplai obat-obatan
Selain mengandalkan hasil penjualan hasil kerajinan, mereka juga mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Ada sebuah yayasan yang membantu menyuplai pemenuhan kebutuhan pokok mereka.
Sementara untuk keperluan obat-obatan, mereka mendapatkan bantuan dari organisasi Katholik. Thian Sin mengisahkan, pada tahun 1980-an, seorang pastur dengan beberapa perwakilan gereja secara rutin berkunjung ke Bokor.
Awalnya, lanjut Thian Sin, pastur berkewarganegaraan Italia bersama rekan-rekannya datang setiap bulan. Namun karena akses transportasi yang sulit, akhirnya rombongan ini datang sekali setiap dua bulan dalam rentang waktu enam hingga tujuh tahun. Namun setelah itu, sang pastur asal Italia tersebut tidak pernah lagi mengunjungi mereka.
“Namun saya lupa siapa nama pastur tersebut. Peristiwanya sudah lama sekali. Sekitar 20 tahun lalu,” ucapnya.
Berdasarkan penelusuran Tribun, pastur tersebut bernama Albino Orsi. Saat ini, sang penolong yang sudah berumur hampir 90 tahun tengah terserang Parkinson. Albino Orsi, kini menjalani perawatan di rumah induk Xaverian Parma, Italia.
Bantuan juga datang dari pemerintah. Beberapa tahun lalu, kata Cuan Sei, pemerintah setempat (saat itu Pulau Rangsang masih masuk kawasan Kabupaten Bengkalis) membangun rumah (semacam asrama) permanen untuk mereka. Namun sayangnya, mereka tidak lama menghuni asrama ini.
“Tentu kami lebih memilih tinggal di sini (Selatpanjang),” lanjut Cuan Sei.
Setelah berada di Selatpanjang, ketiganya mengaku sangat senang. Mereka merasa kembali menjadi orang normal, meskipun tinggal di areal yang cukup jauh dari keramaian. Ketiganya mengaku tidak merasa khawatir lagi apabila ada di antara mereka yang sakit. Mereka bisa segera meminta bantuan kepada penduduk sekitarnya.
Kamp pengasingan bagi penderita kusta di hulu Sungai Bokor, Desa Bokor, Kecamatan Rangsang Barat, Meranti, sudah ditinggal Siu Lan, Cuan Sei, dam Thian Sian, sejak Agustus 2011. Kini mereka menghabiskan sisa umur di sebuah panti di Kelurahan Kampung Baru, Tebingtinggi, Kabupaten Kepulauan Meranti. Ya, mereka lega bisa kembali ke kampung halaman, setelah dikucilkan puluhan tahun. Meski gurat- gurat penderitaan belum sepenuhnya hilang, tapi setidaknya ketiga sejawat ini kembali merasa dimanusiakan.
Adalah Ketua Bidang Kepemudaan Paguyuban Sosial marga Tionghoa Indonesia (PSMTI) Cabang Selatpanjang, Han Hai yang ngotot membawa mereka “pulang”. Ketika ditemui di kantor Ikatan Pemuda PSMTI Selatpanjang, pertengahan Desember 2011 lalu, pria 50 tahun yang lebih dikenal dengan nama Atai ini mengatakan sudah lama mendengar tentang keberadaan para penderita kusta di Bokor. Namun baru pada Juni 2011 ia berkesempatan mengunjungi para penderita kusta tersebut. Saat itu bertandang ke Bokor, ia diajak Persatuan Wanita Tionghoa Indonesia (Perwanti) yang ketika itu tengah melaksanakan bakti sosial.
Sesampainya di Bokor, ia merasa sangat terkejut. Asrama tersebut hanya diisi oleh tiga orang. Selain itu, usia mereka juga sudah renta. Ditambah lagi dengan keberadaan seorang wanita dan Tan Cuan Sei yang juga mengalami gangguan penglihatan karena katarak.
Hal yang paling membuatnya haru adalah ketika mendengar keinginan Tan Cuan Sei yang hendak mengakhiri hidupnya. Bukan tanpa sebab, Cuan Sei ingin bunuh diri karena frustrasi dengan beratnya beban hidup yag ditanggung selama di pengasingan.
Keterangan Atai, Thian Sin mempunyai seorang anak angkat. Yakni anak dari adiknya yang tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Sementara Ong Siu Lan juga masih mempunyai keluarga di Tanjung Balai.
Rencananya, kedua orang tersebut hendak pergi ke tempat sanak keluarga yang masih tersisa. Thian Sin ke Batam dan Ong Siu Lan ke Tanjung Balai. Sementara Tan Cuan Sei tidak tahu harus kemana.
Oleh karena itulah, kata Atai, Cuan Sei berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Pada pertemuan itu, Tan Cuan Sei juga berpesan kepadanya, agar Kabid Kepemudaan PSMTI Selatpanjang ini mengurus jenazah dan pemakamannya.
“Sekarang siapa yang tidak terharu dan tersayat hatinya mendengar permintaan semacam itu. Meskipun kusta, dia juga manusia. Mempunyai hak hidup yang sama,” ujar Atai berapi-api.
Sepulang dari Bokor, Atai lantas membicarakan masalah tersebut dengan PSMTI dan yayasan lain yang mengurus keberadaan mereka di Bokor. Ia meminta izin agar diperbolehkan membawa ketiganya pulang ke Selatpanjang.
Terjadi perbedaan pendapat. Akar perbedaan itu adalah sifat kusta yang menular. Tentu saja ada yang khawatir apabila ada orang dengan kusta di lingkungan sekitarnya. Setelah melalui perdebatan, sekitar sebulan kemudian, akhirnya Atai memperoleh izin untuk membawa ketiganya pulang.
“Syaratnya harus ada surat keterangan dokter yang menerangkan kalau penyakit mereka tidak menular,” imbuhnya.
Sebagai langkah awal sebelum membawa mereka pulang, Atai memeriksakan kondisi ketiganya di UPTD Rangsang Barat. Bersama lima orang temannya, ia membawa ketiganya menggunakan sepeda motor ke Puskesmas tersebut.
Bukan perkara mudah membawa mereka ke Puskesmas. Pasalnya, mereka harus menempuh perjalanan melintasi jalan yang tidak mulus. Ditambah lagi, mereka juga harus menggunakan perahu untuk sampai di camp. Setelah diperiksa, tim medis menyatakan, kusta yang diderita ketiganya sudah tidak menular kepada orang lain. Di sini, Atai berpisah dengan ketiga pengidap kusta tersebut. Bersama rekannya, ia pulang ke Selatpanjang. Sementara Tan Cuan Sei, Thian Sin dan Ong Siu Lan, pulang ke Bokor untuk berkemas-kemas.
Namun mereka belum bisa pindah saat itu juga. Pasalnya, saat itu adalah bulan tujuh. Dalam kepercayaan mereka, bulan tujuh merupakan bulan hantu.
“Jadi baru pada bulan Agustus lah mereka pulang ke Selatpanjang,” ujarnya.
Sesampainya di Selatpanjang, mereka bertiga lalu ditempatkan di bangunan yang dulunya merupakan panti jompo. Sebelum kedatangan mereka, bangunan tersebut kosong. Setelah berada di Selatpanjang, kebutuhan hidup mereka kini ditanggung oleh berbagai yayasan termasuk Ikatan Pemuda PSMTI.
“Dalam waktu dekat, saya ingin memeriksakan mata Cuan Sei yang terkena katara,” tuturnya.
Meskipun kebutuhan hidup mereka ditanggung, namun bukan berarti ketiga pengidap kusta ini menjadi malas. Tan Cuan Sei, Thian Sin dan Ong Siu Lan tetap membuat anyaman bambu. Di sisi lain, persahabatan di antara ketiganya sepertinya sudah tidak bisa dipisahkan lagi. Dikisahkan Atai, sehari setelah tiba di Selatpanjang, Thian Sin pergi ke rumah anak angkatnya di Batam.
Namun, Thian Sin tidak betah tinggal bersama anak angkatnya. Sebulan kemudian ia pun memilih pulang ke Selatpanjang untuk berkumpul bersama kedua temannya.
“Sebagian besar hidup saya, saya habiskan bersama mereka. Mereka lebih dari sekadar sahabat,” ucap Thian Sin menutup perjumpannya dengan Tribun.
Kusta masih ditemukan
Staf pengelola program kusta Kabupaten Kepulauan Meranti, Fitri Rahmawati ketika dihubungi Tribun, akhir Desember 2011 mengatakan, Bokor sebagai tempat pembuangan pengidap kusta sudah ada sejak zaman penjajahan Jepang.
Hal itu dikarenakan ketika itu banyak masyarakat yang menganggap kusta merupakan penyakit kutukan. Sehingga, si penderita akan mengalami dua hal mengerikan. Pertama, dia mengidap kusta dan kedua, mendapat stigma negatif dari masyarakat.
Fitri mengungkapkan, pada 2008 lalu ia pernah berkunjung ke Bokor. Ketika itu, ia merupakan tenaga kesehayan di UPTD Anastata, Rangsang Barat. Ketika berkunjung ke sana, menurutnya ada lima orang penderita. Kelima orang tersebutsaat itu sudah sembuh secara medis. Masa pengobatan penderita kusta tersebut telah selesai.
“Pengobatan terhadap kusta antara 6 bulan hingga 12 bulan,” ucapnya.
Namun ditambahkannya, para pengidap kusta tersebut tidak mau pulang ke kampung halamannya. Alasan mereka, kata Fitri, malu dan khawatir kalau mereka tidak diterima oleh masyarakat sekitar. Ditambah lagi, ada seorang mantan pengidap kusta yang sudah tidak mempunyai sanak famili.
“Karena itu, mereka memilih bertahan di Bokor,” imbuhnya.
Saat ini menurut Fitri, secara nasional kasus kusta di Kabupaten Kepulauan Meranti sudah dieliminasi. Artinya jumlah pengidap kusta sudah berada di bawah 1 persen dari total jumlah penduduk. Meskipun demikian, yang paling dikhawatirkannya adalah pihaknya masih terus menemukan kasus baru pengidap kusta. Pada tahun 2011 hingga tri wulan ketiga, ia menemukan sebanyak 12 orang pengidap kusta baru di wilayah Kabupaten Kepulauan Meranti.
Fitri menambahkan, sebagian besar kasus kusta baru ditemukan di Desa Bungur, Kecamatan Rangsang Barat. Masih satu kecamatan dengan Bokor. Di wilayah ini, katanya terdapat dua orang anak-anak dan dua orang yang sudah cacat karena kusta.
“Di Bungur, pengidap kusta yang masih menjali proses perawatan (minum obat secara rutin) dan temuan kasus baru, sekitar 10 orang,” ujar Fitri.
Diakui Fitri, tenaga medis untuk menangani masalah kusta di Meranti masih sangat kurang. Bahkan, Fitri mengungkapkan, hanya ada satu orang petugas puskesmas di seluruh kawasan Meranti yang mempunyai kompetensi dalam penanganan kusta.
“Tahun depan kami akan melakukan pelatihan kepada petugas kesehatan mengenai pengelolaan program kusta,” imbuh Fitri.
Kendala lain yang dihadapi oleh pihak Diskes Meranti adalah kondisi geografis wilayahnya. Di Bungur misalnya. Wilayah ini cukup sulit dijangkau. Meskipun demikian, pihaknya tetap melakukan berbagai kegiatan dalam pengelolaan program kusta. Dalam satu tahun, pihak Diskes Meranti melakukan survei ke lapangan sebanyak dua kali.
Selain itu, pihaknya juga melakukan berbagai penyuluhan terkait ancaman kusta. Hasilnya cukup menggembirakan. Menurutnya, sudah banyak warga masyarakat yang benar-benar mengerti apa itu kusta dan cara penularannya.
Semakin meningkatnya pengetahuan masyarakat mengenai kusta, diharapkan, penyebaran penyakit ini akan semakin bisa ditekan atau bahkan hingga hilang sama sekali. Fitri pun menegaskan, kusta bukanlah penyakit keturunan, kutukan, karma, ataupun guna-guna. Kusta bisa sembuh dengan pengobatan secara teratur.
Penularan kusta juga tidak mudah. Seseorang tertular kusta, biasanya setelah yang bersangkutan melakukan kontak berat secara terus menerus dengan penderita. Itupun, risikonya hanya 5 persen hingga 10 persen.